Setiap malam, aku selalu menyeduh secangkir kopi. Kuletakkan secangkir kopi di atas meja, tepat bersebelahan dengan laptopku. Wangi harum uap kopi mengepul di udara, Tiba-tiba sebuah pelukan dari belakang mendekapku erat. Ia melingkarkan kedua tangannya di sekitar leherku.
“Belum berhenti kerja?” tanya suamiku sambil mengecup kepalaku. Sementara kepalanya masih ditumpukan di pundakku.
Aku melirik ke arahnya, desahan napasnya terdengar jelas olehku. “Aku seorang penulis, tidak mungkin aku menghambat kelahiran bukuku.” jawabku singkat. Entah kenapa jawabanku justru balik memukul hatiku. Jelas saja, sudah delapan tahun pernikahanku dengan Oka,
Laki-laki berdarah Bali itu, namun kami belum juga diberikan keturunan.
Oka melonggarkan pelukan tangannya, hingga ia melepaskannya. Sontak membuatku terkejut, aku takut jika ia mengingat kembali perkataan dokter Aryana, jika aku tidak bisa memberikan keturunan kepada dirinya.
Kulihat suamiku menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Aku hanya terdiam, melanjutkan mengetik beberapa bab dalam tulisanku.
“Kau tidak bisa hamil, karena kau terlalu banyak minum kopi dan terlalu sibuk bekerja.” Suara suamiku memecah keheningan di antara kami.
Aku menutup laptop, kuputuskan untuk menunda pekerjaan. Segera aku bangkit dari tempat duduk, kata-katanya jelas sangat menyinggung perasaanku.
“Kau selalu menyalahkanku jika aku tidak bisa hamil karena kopi, Kau tidak tahu kan betapa sulitnya untuk bisa menulis buku?” kataku sambil menaikkan nada bicaraku.
“Aku tahu kau seorang penulis, dan aku tidak pernah melarangmu untuk menulis sesuatu. Tapi kau harus bisa menjaga kesehatanmu. Tidak baik jika sehari kau meminum kopi lebih dari empat cangkir,”
Darahku semakin naik, kurapikan laptopku. Kubuka lemari pakaian dan kumasukkan beberapa baju ke dalam koper. Oka hanya diam, tidak ada kata-kata atau tindakan yang ia upayakan untuk mencegahku pergi. Baru beberapa langkah aku menuju ke luar pintu, suara suamiku membuatku berhenti melangkah.
“Apakah kamu tidak ingin merasakan bagaimana gembira dan sulitnya melahirkan seorang anak? Bukankah menjadi ibu membahagiakan?”
Aku diam bergeming di tempatku berdiri, hingga akhirnya aku membalikkan badan dan berucap, “Aku tidak suka jika pekerjaanku sebagai penulis dan suka meminum kopi selalu kau jadikan senjata untuk bertengkar tentang masalah ini. Aku berharap bisa menghabiskan waktu bersamamu setiap sabtu malam hingga minggu pagi, tapi kau kan tahu sekeras apa pun kita mencoba untuk berhubungan, aku tidak bisa memberimu keturunan.
Aku seperti ini bukan karena kopi atau pekerjaanku. Suami yang benar-benar setia tidak akan menuntutku secara berlebihan seperti itu. Aku ingin kita bercerai.” terangku padanya lalu pergi diiringi isak tangis.
***
Sebulan sudah aku meninggalkan rumah dan tepat di bulan ini aku memiliki jatah libur seminggu dari kesibukan-kesibukanku dalam menulis. Aku memanfaatkan hari liburku untuk pergi ke Desa Penelokan di Kintamani. Hari ini aku tidak sendiri, Putu menemaniku berlibur di Kintamani untuk bisa melihat pemandangan Gunung Batur dan Danaunya. Kami mengunjungi salah satu restoran yang tepat menghadap ke arah Gunung Batur dan danau Batur. Aku sudah mengenal Ni Putu Dika saat kami sama-sama menempuh pendidikan di Pulau Dewata, tepatnya di Desa Kintamani. Putu mengambil konsentrasi desain interior, sementara aku memilih untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia.
“Kau tidak pernah menghubunginya lagi?” tanya Putu, gadis berdarah Bali yang selalu setia mendengarkan curhatanku tentang Oka.
Aku mengangkat bahu, “Untuk apa aku menghubunginya.”
“Gek, seharusnya kau jangan cepat-cepat menyimpulkan keputusan jika kau tidak bisa hamil.” Lagi-lagi Putu memulai pembicaraan tentang hal sensitif semacam ini. Putu biasa memanggilku dengan sebutan Gek, yang artinya cantik. Percayalah, namaku Devi Tan. Orang Bali biasa menyebut wanita yang seumuran atau lebih muda dengan sebutan “Gek/Jegeg”. Biasanya panggilan itu untuk wanita yang belum menikah, tetapi Putu selalu menganggapku masih seperti anak-anak. Mungkin karena aku belum bisa bersikap dewasa dalam mengatasi masalah rumah tanggaku dengan Oka. Wajar saja, kami menikah di usia muda. Saat kami berusia 18 tahun.
Ibuku berdarah Bali, sementara ayahku keturunan China. Makanya aku memiliki wajah yang oriental. Kulitku putih dan mataku cenderung tidak besar, tetapi tidak begitu sipit.
“Sudahlah, aku sudah tidak ingin membicarakannya lagi. Lagi pula aku berencana cerai dengannya.” jawabku risih dengan pembicaraan Putu.
“Bukan seperti itu Gek, aku lihat kau terlalu sibuk. Makanya tidak pernah menghabiskan waktu bersamanya. Sudah sebulan kau tidak kembali ke rumah. Kasihan suamimu. Sebaiknya kau pikirkan lagi rencana perceraianmu dengannya.”
“Biarkan saja, aku sudah tidak ingin kembali padanya. Semenjak vonis dokter Aryana jika aku tidak bisa memiliki keturunan, aku jadi enggan untuk melakukan hubungan apa pun dengan suamiku.”
“Vonis itu kan sudah tujuh tahun lalu, saat kalian baru satu tahun menikah.”
Aku menyesap kopi Kintamani yang lima menit lalu di antar oleh pelayan restoran. Rasanya seperti percampuran kopi dan perasan jeruk lemon, saat kopi itu mengelilingi lidahku. Aku cepat-cepat bertanya pada Putu, “Ini enak sekali. Kopi apa ini?”
Putu terkekeh melihat ekspresiku.
“Hei! Kenapa kau tertawa?” pekiku.
“Tidak apa-apa. Itu kopi Kintamani.”
“Kenapa kau dari dulu tidak memberitahuku Put?”
“Karena kau selalu sibuk. Makanya aku tidak pernah mengajakmu ke sini. Ini kopi kesukaan suamimu.”
Tiba-tiba saja aku tersedak, Putu segera memanggil pelayan untuk mengambilkan segelas air putih untukku.
“Ya ampun, kenapa kau tidak berhati-hati Gek?”
Tidak lama, seorang pelayan membawa baki yang di atasnya berdiri segelas air putih. Aku segera meneguk air putih itu sesampainya di meja kami.
“Tadi kau bilang Oka menyukai kopi Kintamani?”
Putu mengangguk mantap, “Ya, suamimu menyukai kopi Kintamani. Hanya kopi Kintamani.”
Aku mengerutkan alis, “Kau tahu dari mana?”
“Gek, Oka adalah sahabatku juga. Sama sepertimu.”
Aku tersenyum pahit, selama ini suamiku tidak pernah memberitahuku jika ia menyukai kopi Kintamani. Yang aku tahu, dia selalu melarangku untuk minum kopi.
“Put, aku pergi duluan ya. Ada masalah yang harus aku selesaikan.” kataku, kemudian memanggil pelayan untuk menyerahkan bill lalu beringsut dari kursi.
Aku sempat melihat Putu yang memandangi punggungku yang berlalu pergi.
***
Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur hotel. Ya, setelah memutuskan pergi dari rumah, aku memilih untuk tinggal di hotel. Tiba-tiba saja ponselku bergetar, satu pesan masuk yang kuterima dari suamiku.
To : Istriku
From : Oka-Suamiku
Sayang, kamu di mana? Jangan lupa untuk makan. Jangan lupa istirahat. -Suamimu-
“Dasar laki-laki gombal. Dia selalu melarangku minum kopi. Ternyata Putu tahu jika dia menyukai kopi.” gumamku lalu melempar posel ke samping tempat tidur.
Ponselku kembali bergetar, satu pesan masuk dari Putu.
To : Gek Devi
From : Putu
Gek, kenapa kau langsung pulang tadi? Apa kau marah karena aku tahu suamimu suka dengan kopi kintamani? Kau jangan salah paham, aku dan Oka tidak ada hubungan apa pun. Kau jangan salah sangka dulu. Apalagi aku sudah bersuami, jadi tidak mungkin aku berselingkuh. Tadi Oka mencarimu ke rumahku, karena janjiku padamu untuk tidak memberitahunya tempat tinggalmu, maka dia langsung pergi. Gek, kasihan suamimu. Pulanglah ke rumah dan bicarakan baik-baik dengan suamimu.
Setelah membaca pesan dari Putu, kuputuskan untuk mematikan ponsel. Aku tidak mau jika suara panggilan telepon suamiku atau Putu mengganggu tidurku malam ini.
***
Hari ini aku memutuskan untuk menemui suamiku di rumah. Ini bukan berarti aku bertekad untuk membatalkan rencana perceraianku dengannya. Melainkan karena masalah ini, aku tidak bisa berpikir jernih dalam menulis. Tulisanku jadi terbengkalai, otakku tidak bisa berpikir cepat seperti dulu. Aku tidak tahu, kenapa kisah cintaku bisa berjalan pahit seperti ini. Aku sudah mengirimkan pesan pada suamiku, jika pagi ini aku akan pulang.
Suatu pagi, saat aku mengunci pintu kamar hotel. Tiba-tiba ada seseorang yang menarik tanganku, menutup mataku, dan membekap mulutku. Tarikan tangannya kuat, seperti tangan laki-laki. Ia merebut kunci kamar hotel dariku dan membawaku masuk kembali ke dalam kamar.
“Hei, siapa kau!” pekikku saat dia melepaskan bekapan tangannya dari bibirku.
Dia membuka dekapan tangannya di mataku, betapa terkejutnya aku melihat laki-laki bertubuh tinggi yang sudah lama aku kenal.
“Bli?”
Laki-laki itu tersenyum. Namanya I Wayan Dharma. Dia temanku saat kami masih SMA. Aku biasa memanggilnya Bli, karena dia lebih tua dariku satu tahun. Dulu Wayan adalah kakak kelasku. Ia mengenakan udeng yang menghias kepalanya. Selalu seperti itu, penampilannya mencirikan laki-laki Bali.
“Kenapa kau tiba-tiba mengagetkanku seperti ini?”
“Maafkan aku.” jawabnya sambil terkekeh.
“Kau tahu aku ada di sin dari siapa?” tanyaku padanya penasaran.
“Aku manajer di hotel ini Adi Devi, Tadi malam aku melihatmu pulang malam dan masuk ke kamar ini. Makanya aku tahu kau ada di sini.”
“Oh, kau manajer di hotel ini. Tapi kan kau bisa mengetuk pintu, sikapmu yang seperti tadi justru membuat jantungku copot Bli,” kataku sambil mencibir.
“Iya, sekali lagi aku minta maaf. Aku hanya ingin memberi kejutan untukmu.” jawabnya singkat, yang sudah bisa aku tebak jawaban darinya dalam otakku.
“Kamu mau pergi kemana Adi─ Adik Devi?” tanyanya kemudian.
“Hmm... Aku ingin bertemu suamiku.”
“Suami? K- Kau─ sudah menikah?”
Kulihat nada terkejut dari suara Wayan. Raut wajahnya terlihat kecewa. Dulu setelah lulus kuliah, saat kami bertemu di Bali. Wayan sempat memintaku untuk menjadi calon istrinya. Tapi aku menolak laki-laki itu karena aku lebih memilih suamiku, Oka. Aku mengenal Wayan lebih dahulu dari pada Oka. Tetapi hatiku jatuh hati pada laki-laki bertubuh tegap yang bekerja sebagai seorang arsitek di Bali, ya suamiku seorang arsitek.
“Ya aku sudah menikah.”
“Dengan siapa?”
“Oka.”
“Apa pekerjaannya?”
“Dia seorang arsitek.”
“Kau menginap di sini tidak bersamanya?” lanjutnya.
“Maaf Bli, aku harus pergi sekarang. Tidak baik jika aku dan kau berada di sini terlalu lama.” kataku mencoba menghindar untuk memberikan penjelasan kepadanya. Kemudian kami melangkah keluar kamar hotel. Bli mengantarku sampai depan halaman hotel, setelahnya aku pergi dengan mengendarai mobil sedan hitamku.
***
Kubuka pintu kamar, saat menyalakan lampu kulihat seisi ruangan yang kosong. Yang aku lihat hanya beberapa cup pie susu Bali dan dua cangkir kopi tersaji di meja. Kucium wangi aroma dari secangkir kopi itu dan menyeruput kopinya.
“Kopi Kintamani?” tanyaku lebih kepada diri sendiri.
Aku menyusuri seisi kamarku, tidak kulihat suamiku di dalam sana. Hanya sepucuk surat yang aku temukan di atas meja.
Untuk Istriku Tercinta,
Aku tahu hari ini kamu pulang, tapi aku minta maaf karena selama sebulan ini aku harus pergi ke Singapura. Ada projek yang harus kuselesaikan. Aku juga minta maaf atas pembicaraan kita malam itu, hingga menimbulkan pertengkaran di antara kita. Aku sangat mencintai dan menyayangimu Devi. Sekarang, aku tidak akan melarangmu untuk meminum kopi atau tidur di pagi hari dan aku tidak akan menuntutmu untuk memiliki anak. Oh ya, Aku membelikanmu beberapa bungkus kopi kintamani yang aku beli langsung ditoko perkebunan kopi. Selamat menulis cerita dan menikmati secangkir kopi.
Yang Mencintaimu,
Made Oka
“Ahh... Ternyata itu kopi darinya. Dia tahu dari mana jika aku menyukai kopi kintamani?” gumamku pada diri sendiri seraya bertanya-tanya.
Aku masukkan kembali surat itu ke dalam laci meja. Kini aku bebas untuk menulis dan melakukan apa saja yang aku mau tanpa menemukan komentar dari siapa pun. Termasuk nasihat dari suamiku. Segera aku nyalakan laptop dan kembali menulis naskah untuk tokoh-tokoh dalam buku kedua puluhku. Aku melirik ke arah meja di mana suamiku meletakkan beberapa pie dan dua cangkir berisi kopi. Kuambil satu cup pie dari meja marmer.
“Terima kasih suamiku.” kataku seraya tersenyum, lalu memakan satu cup pie.
***
Dua minggu berlalu, setiap hari aku hanya duduk di teras rumah sambil menikmati kopi kintamani sendiri. Ya, hanya sendiri. Suamiku hanya mengirim pesan selama dua kali dalam sehari. Entah kenapa aku jadi rindu duduk bersama dengan Oka. Padahal aku berencana untuk bercerai dengannya. Bagaimanapun, aku harus mengakhiri hubunganku dengannya. Jelas saja, vonis dokter Aryana membuatku takut jika suamiku mendekatiku dan pada akhirnya aku hanya bisa menjauh dan mengecewakannya. Walaupun dia menulis surat tidak akan menuntut anak dariku.
Tiba-tiba saja aku mendengar dering telepon berbunyi. Segera aku masuk ke dalam dan mengangkat telepon.
“Hallo?”
“Iya, ini aku Devi Tan.”
“Dokter Aryana? Aku harus menemuimu?”
***
Aku berdiri di depan ruang konsultasi dokter Aryana. Kuketuk pintunya dan suara dari dalam mengizinkanku untuk masuk.
Hatiku bertanya-tanya Untuk apa dia memintaku menemuinya? Sudah lama sekali semenjak pemeriksaan rahimku yang dinyatakan olehnya bahwa aku tidak bisa memiliki keturunan.
“Ada apa dokter memanggilku?”
Dokter Aryana tersenyum, semakin membuatku tak mengerti dengan hal yang akan dibicarakannya.
“Devi, maafkan aku. Hasil tes mengenai kesehatan rahimmu ternyata salah.”
Aku mengerutkan kening, “Maksudmu?”
“Ya, kau bisa memiliki keturunan. Waktu itu, kau sulit hamil karena terlalu lama menunda kehamilan. Jika kau tidak percaya, kau bisa mengetesnya sekarang. Ini memang sudah lama, aku berusaha menghubungi kalian. Tetapi nomor kalian selalu tidak aktif. Kebetulan Putu menemuiku kemarin sore. Akhirnya aku bisa menghubungimu.”
Oh, Ya Tuhan. Aku benar-benar tidak percaya dengan berita ini. Semua keraguanku untuk menjadi seorang ibu akhirnya terjawab.
“Ya, boleh saya melihat hasilnya?”
“Ya, tentu saja.”
Dokter Aryana menjelaskan padaku mengenai hasil tesku satu tahun lalu. Namun aku masih ragu, akhirnya aku memintanya untuk mengetes ulang kembali mengenai masalah kesuburanku.
***
Setelah tadi siang aku menemui dokter Aryana, kini aku tidak merasa cemas. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ibu yang diinginkan suamiku. Aku mengirimkan sebuah pesan singkat pada Putu.
To : Putu
From : Devi Tan
Putu, terima kasih atas perhatianku kepadamu. Maaf jika selama ini aku mencurigaimu dengan suamiku.
Tak berapa lama, sebuah pesan masuk dari Putu.
To : Devi
From : Putu
Tidak apa-apa. Ingat, kau harus berbaikan dengan suamimu. Selamat menjadi ibu. :)
Aku tersenyum membaca pesan singkat dari Putu. Akhirnya ia mau memaafkanku. Tidak berapa lama, sebuah pesan masuk dari suamiku.
To : Devi Istriku
From : Oka-Suamiku
Sayang, hari ini aku pulang. Untunglah pekerjaanku cepat selesai. Jadi hari ini kita bisa bertemu.
Aku tersenyum senang, kubalas pesan dari suamiku.
To : Oka-Suamiku
From : Devi Tan
Baiklah, kau mau secangkir kopi kintamani?
Pesanku terkirim, namun sudah lima belas menit belum ada jawaban darinya. Aku terus menatap layar ponselku. Berharap Oka membalas pesanku. Tak lama kemudian, layar ponselku menyala.
To : Devi Istriku
From : Oka-Suamiku
Boleh, berikan akau satu cangkir kopi kintamani.
Aku pun tersenyum lebar membaca pesan darinya. Selama ini aku tidak bisa bersikap romantis. Tetapi, aku yakin cinta selalu punya cara untuk berbahagia.
***
Saat menyalakan lampu kamar, aku segera mendekat dan memeluk suamiku dari belakang sambil terus mendekapnya erat.
“Aku minta maaf yang begitu besar padamu.” kataku.
Oka tidak bisa bergerak, aku terus mendekapnya erat, namun suamiku terlihat cemas, “Kau kenapa sayang?” tanyanya. Suamiku membalikkan badan. Menaruh tasnya di atas tempat tidur. Setelahnya ia menangkup wajahku, sementara kedua mata kami saling bertautan.
“Maafkan aku, maafkan aku, aku sangat mencintaimu, suamiku. Maafkan aku, maafkan.” kataku.
Aku menitikkan air mata, menangis sekeras-kerasnya. Menangis dalam dekapan suami yang aku rindukan selama beberapa waktu terakhir ini.
“Kau kenapa menangis sayang?” tanya Oka padaku. Laki-laki itu menghapus air mata dipipiku.
“Aku bukan menangis sedih, tetapi menangis lega dan bahagia suamiku. Beberapa hari ini aku bertemu dokter Aryana. Dia mengatakan kalau aku bisa memberimu keturunan. Hasil tes tujuh tahun yang lalu itu salah.” terangku sambil terus menangis.
“Syukurlah sayang, akhirnya aku bisa menjadi ayah dan kau bisa menjadi ibu.” jawab Oka, seraya mencium keningku.
Aku melepaskan pelukanku padanya, “Suamiku, aku sudah membuatkan dua cangkir kopi kintamani untuk kita berdua.” kataku kemudian menuju ke meja di mana aku meletakkan dua cangkir kopi kintamani. Aku memberikannya pada suamiku, kami sama-sama menyesap kopi kintamani kesukaan kami.
“Apa kau suka kopi?” tanyaku pada Oka.
“Ya, aku sangat mencintai kopi kintamani. Dan juga kau,” katanya sambil tersenyum. Setelah menghabiskan meminum kopi bersama. Dia lanjut membuka tali jubah baju tidur yang aku kenakan. Menghempaskan tubuhku ke tempat tidur dan perlahan bibirnya melumat bibirku. Jantungku berdebar kencang. Jemarinya dengan pelan telah menjamah ke seluruh permukaan tubuhku. Meski bibirku mulai lelah, tetapi suamiku tak juga menyudahinya. Wangi aroma kopi tercium oleh hidungku. Lamban dan semakin cepat, ia berhasil melucuti pakaian dalamku. Pikirku bahwa kami seakan terhanyut dalam gairah yang kami ciptakan dan melupakan semua luka yang ada dalam hidup kami.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
