Kala itu, ada seorang gadis yang sangat pemalu. Ya, pemalu.
Aku tidak pernah tahu apa alasan dia menjadi pemalu. Enggan bertatapan dengan
orang banyak. Sendiri. Itu kata yang aku tangkap setiap melihatnya. Ingin
sekali aku membuatnya bergerak, menyentuh, menggenggam, berjalan, atau bahkan,
melangkah.
Gadis itu.....
Namanya Uchikina shōjo, tepat
seperti namanya. Bukan, itu bukan namanya. Ah, aku tidak tahu. Entahlah, aku
tidak tahu kenapa dia begitu pemalu. Enggan berbicara, apalagi mengobrol. Gadis
itu berambut panjang sebahu, matanya bulat dan bola matanya hitam pekat,
tubuhnya sedikit pendek dan jari-jarinya lentik. Pernah sesekali aku
menyapanya. Saat kali pertama kami berjalan di koridor sekolah.
“Uchikina
shōjo!” Aku berteriak dan berusaha meraih bahunya. Dia jalan begitu cepat.
Seperti orang yang tengah dikejar-kejar mafia.
Hap!
Akhirnya,
tanganku yang melayang di udara mampu meraih bahu gadis itu. “Uchikina shōjo,
kau kenapa berjalan secepat itu?” tanyaku seraya menatap wajahnya. Namun,
pandangan yang kuterima berbeda. Aku tidak bisa menatap wajahnya dengan
sempurna, karena ia menunduk.
Gadis
itu menggerak-gerakan tubuhnya gelisah. Menggigit kuku jari-jarinya dengan
gemetar. Seperti aku berniat ingin melakukan kejahatan padanya. Cepat-cepat aku
berucap, karena takut dia akan menangis atau berteriak.
“Uchikina
shōjo, aku tidak akan melukaimu. Kau tidak perlu memasang ekspresi seperti itu.
Bisa kau bersikap tenang?”
Aku meraih pergelangan tangan gadis itu, membawanya ke suatu
tempat. Gadis itu mengikuti langkah kakiku. Cepat. Sangat cepat, bahkan aku
berlari sambil menggegam tangannya. Aneh, dia tidak melakukan ekspresi apa-apa.
Tidak sama seperti apa yang aku pikirkan.
Di
taman sekolah, banyak ditumbuhi pohon-pohon sakura. Langkahku terhenti, napas
tersengal-sengal menyergap dada kami. Gadis itu juga sama sepertiku. Baru kali
ini aku mendengar desahan napasnya. Detik berikutnya, napasku sudah sedikit
normal.
“Maaf,
sudah membuatmu lelah.” ujarku dengan nada bersalah. Gadis itu kembali
menunduk.
“Kau,
tidak perlu malu. Aku tidak akan mengejekmu.” kataku untuk kedua kalinya.
“Kenapa
sih kau tidak mau berbicara? Memperkenalkan namamu saja tidak.” Aku menarik
pergelangan tangan gadis itu, memintanya untuk mengikuti langkahku. Kami sampai
di deretan bangku taman yang panjang. Aku duduk, tetapi gadis itu tidak
melakukan apa pun. Hanya berdiri diam.
“Ayo,
sini duduk!” Aku menepuk-nepuk bagian kosong dari bangku itu. “Kau jangan terus
seperti itu. Apa kau tidak merasa sepi?” tanyaku kepadanya.
Gadis
itu membuka resleting tasnya. Mengeluarkan catatan kecil dari sana dan menuliskan
sesuatu. Entah apa yang akan ditulisnya. Namun, reaksi gadis itu membuatku
menarik ujung bibir. Detik berikutnya, gadis itu merobek sisi pinggir catatan
itu, memeberikan kertas berisi tulisannya untukku.
Kau, anak laki-laki yang baik. Aku
menyukaimu teman. Maaf, jika aku tidak dapat mengungkapkannya lewat suara.
Karena aku—bisu. Aku harap, setelah mengetahui ini. Kau tetap menjadi orang
yang baik. Tidak seperti teman-temanku dan orang-orang yang mengejekku. Arigato....
Watashi
no namae wa Aika desu— Nama saya adalah Aika
Yoroshiku - Aika Kazuya
Aku melayangkan pandangan ke arah
gadis itu. Sedih rasanya. Dahulu, aku malah tidak ingin memiliki suara.
Lantaran, aku kalah dalam kompetisi menyanyi di Osaka. Aku hampir meminta haha—ibu
untuk membiarkanku sakit panas waktu itu. Ya, setelah kepulanganku dari Osaka ke rumah tinggalku di Okayama. Aku tidak makan dan minum
selama tiga hari. Badanku panas, dan saat ibu ingin membawaku ke dokter. Aku
menolak mentah-mentah. Ibu tetap membawaku ke dokter. Kata dokter Haruto, aku
bisa mengalami kebisuan. Untung, Tuhan masih memberikan aku kesembuhan. Apalagi,
melihat kondisi gadis bernama Uchikina shōjo. Oh, tidak! Namanya bukan itu,
tapi— Aika Kazuya. Nama yang indah. Kala
itu, lawanku menyanyikan lagu berjudul “Kami
e no ai no uta”—Lagu Cinta Untuk Tuhan.
Aku mengulurkan tangan pada Aika.
“Hajimemashite—Perkenalkan, Watashi wa Kenji desu— Nama saya Kenji.”
Dia menyambut uluran tanganku,
dan tersenyum ramah. Aku tersenyum lebar melihatnya. Sejak saat itu kami
menjadi teman. Kali ini, Aku benar-benar melihat wajahnya. Ia sangat cantik, rambutnya
yang lurus tertiup angin. Menyapu pipi yang mulus Aika. Dia seperti malaikat
yang bisu. Namun, membuat aku mensyukuri pemberian Tuhan.
-Karena Tuhan, tahu yang terbaik untuk kita-
Author : Rafidah Aprilia
Image Source : bing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar