Jumat, 12 Desember 2014

Love Song about Our Memory








Sakit. Begitulah saat ini keadaan diriku. Sampai kapan pun kau tidak akan pernah tahu jika aku sakit. Kata orang, terlalu banyak pikiran bisa membuat kita sakit. Begitu banyak kekhawatiran juga akan membuat sakit. Kau mengirimkan secarik kertas. Berisi barisan kata yang tidak hanya mampu menampar wajahku. Tetapi juga hatiku. Bagiku—Sekarang, kita saling menganggap buruk satu sama lain. Kau merasa mengalah sendiri, merasa tersakiti sendiri. Tetapi pada kenyataannya, yang kita lakukan hanyalah menjauhkan diri dari keterbukaan. Menjauhkan diri dari rasa saling peduli. Kau bilang kita saling mencintai—Namun, kau tidak mampu menjaga kepercayaan yang aku titipkan padamu.

Kita, mulai melupakan kebaikan satu sama lain. Memudarkan rasa saling peduli dan melengkapi. Itu yang aku tahu saat ini. Aku mengulum tangis di dalam hati. Aku salah, aku merasa hubungan kita adalah paling sempurna. Hingga ikatan kasih sayang yang kita bangun lambat laun menjadi hambar. Hambar. Seperti rasa black coffee kesukaanmu. Pahit. Sekuat apa pun kita menghilangkan rasa pahitnya. Kopi tidak akan kehilangan sisi pahit. Dia tetap memiliki sisi buruknya. Akhirnya, aku menyadari, ada sesuatu bagian yang tidak bisa aku dapatkan selama aku berjalan bersamamu. Katamu, aku akan selalu ada di sisimu. Menanyakan keadaan satu sama lain. Apakah kau baik-baik saja hari ini? Atau Kau tidak sedang ada masalah kan? 

Ah, itu hanya omong kosong belaka. Di akhir, kau justru memintaku untuk selalu memahamimu. Kau tidak pernah tahu isi hati manusia. Jadi, jangan sesekali menebaknya. Jika itu akan membuat orang lain terluka.
Aku terbangun ke alam nyata, setelah ponsel yang kuletakkan di atas meja bergetar.
To        : Renna
From   : Rey
Bisa kita bertemu?Aku tunggu di kafe biasa. 

Aku membenamkan wajah di antara telapak tangan. Sesak. Itu yang aku rasakan setelah membaca pesan darimu. Aku berpikir berkali-kali, apakah aku harus datang atau tidak. Jika aku tidak datang, aku tidak akan pernah tahu keadaanmu. Walaupun, di sini aku sedang sakit. Aku tidak peduli masalahku, aku tetap peduli padamu. Meskipun aku tahu, keputusanku menemuimu akan menambah sakitku. Detik berikutnya, Aku memasukkan ponsel ke dalam saku. Merapikan meja kerjaku. Lalu, menyambar blazer hitam yang kusampirkan di kepala meja. Aku bergegas melangkah pergi, jauh meninggalkan ruang kerjaku.
*** 

Kakiku melangkah, memasuki kafe. Suara rangkaian lonceng kafe bernyanyi merdu, saat bersentuhan dengan kepalaku. Tidak sakit. Loncengnya terbuat dari kain flanel, yang diberi hiasan lonceng emas berbentuk bulat di dalamnya. Sehingga mereka mampu bernyanyi. Namun tidak melukai. 

Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut kafe. Berusaha mencari sosokmu. Akhirnya, kulihat kau sedang duduk di sebuah kursi dekat jendela. Kau mengambil posisi di sudut ruangan. Menyesap black coffee yang dipesannya. Itu kebiasaanmu. Dan, aku tahu itu. 

“Sudah lama menunggu?” Aku berucap setelah sampai di mejanya. Dia mengangkat wajahnya. 

“Ah, tidak. Silahkan duduk.” katanya sambil melontarkan senyuman padaku. Aku ikut tersenyum. 

Tetapi hambar. Dia menarik kursinya maju hingga tubuhnya sedikit mendekati tepi meja. Aroma kopi dari napasnya tercium jelas di hidungku. 

“Ada apa kau memintaku ke sini Rey?” tanyaku padanya. Sebenarnya, aku tahu apa yang dia akan katakan. Aku tahu itu. Namun, aku ingin dia mengatakannya sendiri. Kurasa, aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Aku takut jika dia tahu yang sebenarnya. Aku takut, takut jika dia membuat jarak untukku.
*** 
  



Aku menyusuri jalanan di sekitar sungai Seine dengan langkah gontai. Kemudian berhenti sejenak. Kedua tanganku terjulur ke depan, mencengkeram pagar besi jembatan.  Hingga buku-buku jariku memutih. Aku menghamburkan tangis di sungai itu. Sesak. Rasanya oksigen yang masuk ke dadaku perlahan-lahan mulai habis. Aku tidak percaya akan ucapannya tadi. Saat kami bertemu di kafe. 

“Aku ingin memintamu datang ke acara pernikahanku dengan Alice. Kau merestui hubungan kami kan?” katanya dengan nada bangga. Lelaki itu sangat senang sekali. Wajahnya berbinar-binar saat mengucapkannya di depanku. Tanpa pernah tahu perasaanku padanya. Aku hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kesedihanku. Menyembunyikan takdir buruk untukku. Takdir yang mengharuskan aku untuk merelakan dia untuknya. Seberapa keras aku mencoba untuk meraih dirinya. Kenyataan akan tetap sama. Jika pun aku mampu meraihnya, dia tidak akan tinggal di hatiku selamanya. Karena di hatinya ada Alice. Hanya Alice. 

Aku menarik napas panjang, secepat mungkin mengadahkan kepala. Menatap manik matanya yang berwarna biru. Aku berusaha mengatur napas. Agar saat berbicara padanya, aku dapat mengatur nada suaraku.
“Ya, tentunya aku merestui itu. Alice sahabatku, dan kau juga sahabat yang baik untukku.”
Aku mencoba tersenyum kepadanya. Menghilangkan jejak kesedihan yang menyelimutiku.
“Terimakasih Renna. Tapi… kau belum menjawab satu pertanyaanku. Kau akan datang kan ke acara bahagia kami?” 

Aku mennepuk keningku. Mencari alasan agar terlihat lupa. Aku sengaja melupakan pertanyaan yang satu itu, karena aku tidak cukup kuat untuk mengatakannya

“Nanti akan aku usahakan untuk menghadiri hari bahagiamu.” kataku lirih. Tiba-tiba senyum di wajah lelaki itu memudar. Aku tidak tahu alasannya. 

“Kau harus datang Ren. Alice pasti akan sangat senang jika kau mau hadir di hari bahagia kami.” kata Rey, dengan nada memelas. 

Aku memutar otakku cepat. Mencoba menemukan alasan yang tepat.

“Maaf, aku tidak bisa memastikan itu. Karena …” suaraku menggantung di udara. Ya Tuhan… aku harus bisa mengontrol emosiku. Aku tidak mau dia tahu tentang perasaanku. “Karena aku akan berangkat ke Austria besok.” Akhirnya, aku dapat mengucapkannya. Ya, untungnya aku ingat akan tawaran dari bosku ke Austria. 

Rey tertegun, Lelaki itu mengerutkan keningnya samar ke arahku. 

“Tapi, pernikahanku dengan Alice kan minggu depan. Bukannya besok. Ayolah, aku mohon.” ujarnya memelas untuk kali kedua. Dia menautkan jari-jarinya. Meletakkannya tepat di depan dada. Memohon padaku penuh keyakinan, jika aku harus hadir di hari bahagianya. 

Aku paling tidak suka melihat lelaki itu memohon padaku. Aku tidak suka itu. 

“Rey, kau jangan memohon seperti itu kepadaku. Aku tidak sehari dua hari disana. Tetapi, bisa sebulan atau bahkan satu tahun.” ujarku dengan perasaan bersalah. “Aku janji, akan datang ke rumah kalian saat kepulanganku dari Austria.” kataku tulus sembari melepaskan jari-jari tangan yang terpaut itu. 

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. “Maaf Rey, sepertinya aku harus kembali ke kantor. Kali lain, kita berbicara lagi. Tuhan memberkati pernikahan kalian.” Aku tersenyum kepadanya. Kemudian beringsut pergi meninggalkan kafe itu. Kubekap mulutku dengan sebelah tangan. Agar tangisku tidak kelihatan orang-orang yang berada di kafe. Aku tahu, Rey pasti sedang memandangi kepergianku.
***
Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Austria. Aku meminta cuti selama seminggu lagi dengan bosku Nyonya Jasmine. Sehingga aku memiliki waktu dua minggu di sana. Dia orang yang sangat baik kepadaku. Aku sangat beruntung, karena mendapatkan tiket ke Austria untuk menghadiri acara Music Paradise in Wina. Aku juga akan memainkan salah satu alat musik disana. Awalnya, aku menolak, tetapi aku mencoba berbicara lagi dengan Nyonya Jasmine. Untungnya, Nyonya Jasmine belum menawarkan satu tiket itu kepada karyawan yang lainnya. Sehingga aku berkesempatan memiliki tiket itu. Nyonya Jasmine tahu, jika aku menyukai musik. Dan pandai bermain biola dan piano. 

Penerbangan dari Paris ke Austria akan berlangsung kurang dari tiga menit lagi. Pesawat sudah tiba lima menit sebelumnya. Aku menaiki tangga pesawat. Mengangkat koperku perlahan. Di dalamnya kuselipkan biola. Sesak. Itu yang masih aku rasakan. Semalaman aku tidak tidur karena memikirkan keputusanku untuk meninggalkan Paris selama dua minggu. Semoga, keputusanku untuk pergi ke Austria dapat merelakan Rey untuk Alice. Ah, sudahlah. Seharusnya aku bahagia dengan kebahagiaan mereka.
Detik berikutnya…
Pesawat yang aku tumpangi terbang bebas di udara. Mengepakkan sayap bersama-sama dengan ribuan burung-burung. Menembus kerumunan awan yang biru. Aku melirik jendela. Sesekali menghembuskan napas. Terlintas dipikiranku untuk terbang jauh seperti pesawat atau burung-burung. Berteriak, menjerit, atau bahkan bernyanyi merdu. Melepaskan kejenuhan saat berada di daratan.
Satu jam kemudian…
Aku merasakan hal aneh. Tubuhku terasa ringan. Aku melihat jiwaku yang berlumuran darah. Hancur bersama kepingan badan pesawat. Tidak hanya aku, di sana ada orang-orang yang tergeletak tak berdaya. Banyak petugas-petugas rumah sakit yang membawa jasad mereka yang kurang beruntung untuk hidup lebih lama. Suara sirine mobil ambulans yang berteriak kencang dan polisi yang memasang police line di tempat kejadian membuat aku semakin penasaran. Aku berteriak dan mencoba berkata pada salah satu petugas yang mengangkat tubuhku dan memasukkannya ke dalam kantung panjang berwarna kuning. Tetapi sayang, usahaku sia-sia untuk melakukan itu. Mereka semua tak mendengar. Tak menggubris apa yang aku lakukan. Aku mencoba meraih bahu petugas itu, tetapi sia-sia. Tanganku justru menembus tubuhnya. Aku benar-benar tidak dapat menyentuhnya.
Aku menangis, meratapi nasibku. Aku sadar, jika aku sudah tidak sama lagi dengan mereka. Aku tertunduk, berusaha menerima takdir yang ditetapkan Tuhan. Meskipun begitu, aku merasa bahagia. Bahagia bagiku sederhana, melihat seseorang yang dicintai tersenyum dan merelakan mereka pergi. Aku belajar, melepaskan seseorang itu juga cinta. Bahkan cinta yang sangat besar. Aku tetap harus percaya, sekalipun aku sulit untuk mempercayainya. Jika aku sudah tidak dapat tinggal di bumi lagi. Melihat senyum yang mengembang dibibirmu Rey...
***
Dulu, saat kami masih duduk di bangku SMA. Saat aku dan Rey berusia 17 tahun. Aku menciptakan satu lagu untuk Rey. Aku adalah gadis yang pandai bermain dua alat musik yaitu biola dan piano. Sama dengan Rey. Itulah yang membuat Rey mudah untuk beradaptasi denganku. Karena kami memiliki sesuatu hal yang sama, yaitu menyukai musik. Hanya satu perbedaan kami. Rey tidak suka menggambar. Sedangkan aku sangat suka. Hampir setiap pulang sekolah, aku meluangkan waktu bersama Rey untuk memainkan alat musik di belakang taman sekolah. Setelahnya, kami akan menyambangi kafe terdekat. Memesan black coffee kesukaan Rey dan Espresso minuman kesukaanku. Kami memiliki kecintaan yang sama terhadap kopi. Walaupun dalam versi yang berbeda. Aku mengenal Rey saat kali pertama dia masuk ke sekolahku. Dia anak pindahan dari sekolah ternama di Jerman. Ayahnya bertugas di Paris sebagai seorang arsitek, sehingga memaksa Rey untuk mengikuti posisi dimana ayahnya berada. Ibunya sudah meninggal sejak melahirkannya. Dia tidak memiliki saudara, karena Rey anak tunggal. Berbeda lagi denganku, Namaku Renna Jean. Aku tidak memiliki siapa-siapa. Kedua orangtua-ku sudah meninggal. Ibuku meninggalkanku saat aku berusia 5 tahun. Sedangkan ayah, beliau meninggalkanku saat aku berusia 12 tahun. Teman hidupku satu-satunya hanya Bibi Claude saat itu. Dia wanita berusia 40 tahun, tetanggaku sekaligus pemilik dari toko roti dan rumah sewa tempat tinggalku. Bibi Claude memiliki dua orang anak bernama Sherenaa dan Nathan. Sherenaa telah menikah dan Nathan seorang mahasiswa di Paris.
“Rey, kemarin aku baru menciptakan lagu untuk kita.” kataku sambil melirik ke arah Rey dan mengulurkan secarik kertas padanya.  Aku tersenyum bangga. Dia ikut tersenyum.
“Coba kau nyanyikan lirik lagu ini, aku ingin dengar!” katanya seraya menatap tulisan di atas kertas itu.
Dengan sigap, aku mengambil biola yang terletak di sampingku, yang aku sandarkan di bangku taman. Aku mulai menggesek biola, memainkan intro dari lagu ciptaanku sendiri.
Kau tahu, semakin kita dekat
Aku semakin bahagia
Kita selalu bersama, dalam suka maupun duka
Aku tidak dapat mengenal perasaan ini.
Hingga perasaan ini terus tumbuh dan bekerja

Aku mencoba untuk memperbaiki pikiranmu sekali lagi
Melalui lagu yang kucipta. Aku selalu ingin melihatmu bahagia.
Bahagia… dengan cara sederhanaku.
Melalui karya yang kucipta.

Kumohon kepadamu…
Jangan pernah berhenti untuk selalu disisiku.
Untuk selalu berjalan bersamaku.
Untuk selalu tersenyum padaku.
Meskipun aku tahu, kau selalu melakukan itu.

Reff :    Aku harap, kita dapat mengerti hati satu sama lain.
Aku harap, kita dapat melihat air mata satu sama lain.
Aku harap, kita dapat masuk ke dalam jiwa satu sama lain.
Kau dan aku…adalah satu dalam jiwa.

Bagiku, cinta hanya butiran air mata.
Hanya seperti itu.
Namun, saat kau bersamaku. Saat kau mau peduli denganku.
Semuanya berubah, cinta menjadi mutiara yang bersinar diantara butiran pasir malam.

Saat kita berpisah nanti, bisakah kau memelukku sekali saja?
Bisakah kau melihat ke arahku untuk sekali saja?
Bisakah kau mengucapkan salam terakhir kepadaku?
Ku harap, jangan pernah melupakan kenangan bahagia kita.
Karena lagu ini hanya untuk kita. 

Aku selesai menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Dan di akhir lagu, biolaku ikut berhenti bersenandung. Rey memberikan applause kepadaku.
“Kau hebat.” katanya, lalu tersenyum. Aku ikut tersenyum riang. Aku suka senyum Rey. Ya, dengan melihatnya tersenyum aku merasa bahagia. Aku tidak tahu, kenapa merasa nyaman saat disisinya. Entahlah, aku tidak dapat memahami perasaanku sendiri.
Delapan tahun kemudian…
Aku mendengar kabar Rey akan segera menikah dengan seorang gadis cantik saat kami sekolah SMA dulu. Dia adalah sahabatku saat di SMA, bahkan sebelum aku mengenal Rey. Namanya Alicia Paulle. Aku biasa memanggilnya Alice. Gadis berambut pirang gelombang dan bermata hazel itu sangat cantik. Kulitnya putih mulus tanpa bintik. Dia adalah gadis keturunan Hongaria dan Prancis. Oh! sangat berbeda denganku. Aku gadis keturunan Indonesia dan Prancis. Rambutku hitam dan mataku khas Indonesia. Semua yang ada pada diriku mengikuti apa yang ada di wajah ibuku. Hanya saja, tinggi badanku mengikuti ayah yang keturunan Prancis.
Aku tidak tahu, sejak kapan Rey dan Alice menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Saat kami mengadakan pertemuan satu angkatan dengan teman-teman masa SMA. Aku tidak datang, karena jadwal kerjaku yang padat. Pagi harinya, aku harus bekerja di perusahaan fashion design. Malam harinya, aku harus menjadi penyiar radio di salah satu stasiun popular di Paris. Stasiun radio itu milik Monsieur Vinci— Tuan Vinci. Lelaki berusia 47 tahun itu adalah suami dari Nyonya Jasmine. Sejak Bibi Claude meninggal, aku harus bekerja keras mencari pendapatan sendiri. Karena toko roti dan rumah sewanya telah dikelola oleh kedua anaknya. Aku terbiasa bekerja keras sejak kedua orangtuaku meninggal dunia.
Aku mengetahui hubungan cinta Rey dengan Alice dari seorang teman. Namanya Grace. Gadis cantik berambut pendek itu bertemu denganku saat dia mengunjungi kantor dimana aku bekerja. Dia adalah klien tetap kami. Aku bekerja di perusahaan fashion design milik Nyonya Jasmine. Grace menceritakan, jika Alice dan Rey telah dijodohkan sejak mereka kecil. Ayahnya Rey dan Ayahnya Alice sudah bersahabat sejak lama. Saat mendengar cerita itu, aku sungguh sakit. Dadaku sesak tak karuan. Kenapa aku terlalu naïf untuk menyadari hal itu? Aku terlalu bodoh dengan mudah memberikan hatiku pada Rey. Meluangkan waktuku bersama lelaki itu. Menunggu lelaki itu hingga akhirnya justru membuatku hancur. Mungkin, aku terlalu salah mengartikan hubunganku dengan Rey. Ini semua salahku. Aku sadar, meskipun aku mencintai Rey, pastilah ada sesuatu hal yang tidak aku mengerti tentangnya. 


 *author by Rafidah Aprilia 
*Image by etsy.com and aliexpress
*Tulisan yang diikutsertakan dalam grup menulis

Senin, 08 September 2014

Hujan dan Amplop biru untuk Kev



Malam itu, hujan cukup deras mengguyur kota London. Di sudut ruangan, tepatnya di dekat jendela kafe, seorang laki-laki memakai topi berwarna hitam tengah duduk dan sesekali ia menyesap espresso miliknya.  Baju dan topinya sedikit basah, ia melepaskan topinya, lalu mengibas-ngibaskan berkali-kali bagian yang basah itu dengan tangannya. Sesaat kemudian, matanya menjurus ke luar bingkai kaca yang buram. Manik matanya sangat sendu, senyap seperti keadaan kota London malam itu. 

Dia mencari sesuatu dari kantung celananya. Benda mungil berwarna hitam itu ditekannya. Hingga lampu menyala terang di layar kecil itu. Cahayanya bertemu dengan segurat wajah tirusnya. Menciptakan bayangan hitam dibalik kulitnya yang putih. Ia hendak melihat apakah ada pesan masuk atau tidak. Sedetik kemudian, ia meletakkan benda itu di samping cangkir berisikan cairan berwarna cokelat pudar. Kecewa. Itu yang bisa diisyaratkan dari tatapannya. 

Matanya kembali menoleh ke luar jendela. Mendesah berkali-kali. Entah sudah kali keberapa dia mengatur napasnya. 

“Tuan, apakah ini payung milik anda?” 

Suara berat itu membuyarkan pikiran laki-laki itu. Ia mengangkat wajahnya, melihat sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Laki-laki berkacamata. Memegang payung berwarna tosca yang sudah terlipat rapi. Ia berharap yang ada di hadapannya adalah seseorang yang ditunggunya sejak setengah jam lalu. Namun itu salah. Harapannya sia-sia. 

Laki-laki itu beringsut dari tempat duduknya. “Ya, benar. Ini payung milik saya.”

“Maaf, saya terpaksa melipat payung ini. Karena payung anda menghalangi jalan.” kata laki-laki itu sembari mengulurkan tangannya. Menyerahkan payung itu pada pemiliknya. 

Laki-laki itu tersenyum, tidak enak hati. “Ya, tidak apa-apa. Seharusnya saya yang meminta maaf. Terimakasih telah berbaik hati menyerahkan payung ini kepada saya.” katanya.

 “Sama-sama.” Laki-laki berkacamata itu tersenyum dan segera berlalu. Laki-laki yang tengah menunggu itu kembali duduk. Menyandarkan payung yang basah itu di kaki meja. Ia kembali menyesap espresso miliknya. Lalu mendesah berat. 

Lima belas menit berlalu... 

Laki-laki itu masih setia di tempat duduknya. Namun, seseorang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Entah sudah berapa kali ia memesan secangkir espresso. Payungnya pun sudah tidak basah lagi. Ia melirik sekali lagi ke arah pintu masuk kafe. Berharap ekor matanya menemukan sosok yang ditunggunya. 

Ia menyambar ponsel yang diletakkannya di atas meja. Melihat kembali layar kecil itu. Nasibnya tetap sama, tidak ada pesan. Ia berusaha mengetikkan sesuatu, menekan setiap tombol dengan lincah. Mencari kontak nomor penerima. Ia sedikit ragu untuk mengirim. Sampai akhirnya ia menyimpan ke dalam draft. 

Laki-laki itu hendak berdiri, mengambil ponselnya. Dan, berjalan meninggalkan meja itu. Langkahnya membawa laki-laki itu ke kamar kecil. 

Lima menit kemudian...

Ia kembali kepada mejanya. Menunggu dan tetap menunggu. Sesampainya di meja itu, manik matanya menatap lekat-lekat benda berselimut biru yang terletak di meja. Sebelumnya, ia tidak menemukan sesuatu di meja itu. Laki-laki yang menunggu itu mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Tidak ada yang ganjil. Orang-orang tetap sama, setia pada mejanya. Berbincang dengan lawan bicaranya. Menikmati sajian yang terhidang di meja. Sesekali, mereka menyunggingkan senyuman di bibirnya. Atau menciptakan gelak tawa yang menderu, bersamaan dengan suara hujan. Sedangkan dirinya, laki-laki itu hanya sendiri. Duduk menunggu sesuatu yang tidak pasti. 

Ia mengambil surat yang berselimut amplop biru itu. Ia meraba ujungnya, merobek sisi yang terekat dengan lem. Di dalamnya terdapat selembar kertas putih. Berisi beberapa baris kata yang tersusun rapi. Membentuk beberapa paragraf yang teratur. 

 
Dear, Kev
Aku tahu, saat membaca surat ini, mungkin kau masih tetap menunggu. Menunggu saya yang tidak kunjung datang. Sebelumnya saya minta maaf, karena telah membuatmu menunggu. Namun, saya harap kamu tidak pernah menyesal atau merasa kecewa karena menunggu. Kuakui, Keputusanmu sangat tepat untuk menunggu. Setidaknya, saya dapat memberitahumu tentang kabar ini. Meskipun raga saya tidak berada di hadapanmu. 

Kau tahu, aku dengan susah payah menulis surat ini. Secarik kertas yang tergeletak berjam-jam di meja saya tidak kunjung membuat saya menuliskan sesuatu. Bahkan satu kata pun saya tidak bisa menulis. Saya hanya diam memandanginya. Mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk memberitahumu. Namun sayang, kepala saya tidak dapat berpikir. Kosong. Seperti mug yang tidak berisi espresso, minuman kesukaanmu. 

Kev, saya memang bukan orang yang romantis. Hingga saya tidak pernah sadar tentang apa pun yang kamu berikan pada saya. Bukan sekadar benda, namun pengorbananmu pada saya. Saya  ingin memberitahu, mawar dan sekotak cokelat itu sudah sampai di tangan saya seminggu yang lalu. Saya suka bunga mawar pemberianmu. Begitupun cokelat belgia yang kau berikan untuk saya. 

Kev, maaf baru memberitahumu sekarang. Saya sudah tidak di London saat ini. Surat ini saya titipkan kepada pemilik kafe. Dia adalah sahabat saya. Mungkin dia akan memberikan surat ini dengan caranya sendiri. Dia orang yang misterius. Sama sepertimu. Sejak kamu meminta saya menemuimu di kafe itu, saya segera membuat surat ini. 

Lima hari yang lalu, saya berangkat ke Melbourne untuk menghadiri prosesi pemakaman ayah saya. Sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya, ia meminta saya untuk selalu menemaninya. Ayah saya, adalah satu-satunya teman hidup yang mengisi hari-hari berharga saya. Sebelum akhirnya, saya bertemu denganmu. Jujur, saya malu mengakui hal ini padamu. Tetapi, jika saya tidak mengatakannya segera, saya takut kamu akan berpikiran negatif tentang saya. 

Kev, terimakasih karena selama saya menempuh pendidikan di London, kamu selalu ada untuk saya. Memberi saya pengertian yang berbeda untukmu. Kamu baik dan sangat baik. Saya sangat senang memiliki teman sekaligus sahabat sepertimu. Saya senang kamu selalu mengkhawatirkan saya jika saya telat pulang ke flat. Kamu rela menunggu berjam-jam di depan pintu flat saya hingga membiarkan matamu yang sudah lelah itu terus terbuka. 

Di London, saya bekerja sebagai seorang perawat. Tetapi, perawat sukarela. Saya rela tidak dibayar, asal saya bisa membantu mereka yang sakit. Oleh sebab itu, saya sering pulang larut malam. Namun, akhir-akhir ini saya merasa lelah. Cepat sekali lelah. Metabolisme saya sangat rentan terhadap penyakit. Hingga saatnya, saya sering lupa makan. Di kampus pun, saya sering lupa makan. Karena saya sibuk dengan tugas-tugas yang saya miliki. Kejujuran saya yang kedua, tentunya kamu tahu jika saya sekolah di London berkat program beasiswa saya. Karena itu, saya sangat bersungguh-sungguh dalam menjalani pendidikan ini. Saya tidak ingin membuat kedua hati saya kecewa. Yaitu ayah dan ibu saya. Terutama ayah yang masih hidup kala itu. 

Namun sayang, setelah saya lulus mendapat gelar master di London. Saya harus menerima kenyataan ini. Maaf, saya baru memberitahumu. Saya harus menderita salah satu penyakit. Saya harap kamu jangan sedih dahulu. Saya ingin melihat kamu tersenyum. Dokter mengatakan jika saya menderita kanker lambung. Dan, waktu saya tidak banyak lagi. Setelah saya mengantar jasad ayah saya, mungkin waktu saya tidak banyak lagi. Saya tidak mau jika kamu terus menerus mengharapkan sesuatu dari saya. Saya ingin mengatakan, jika saya memiliki perasaan yang sama sepertimu. Tetapi, saya bukan orang yang bersedia mengumbar cinta saya secara terang-terangan. Apalagi terhadap orang lain. 

Saya senang, karena saya dapat memberitahumu tentang hal ini. Mungkin, saat ini kamu sedang menikmati hujan yang bernyanyi merdu. Saya tahu itu, karena saya cukup mengenalmu. Namun tidak sekenal ayah- ibumu mengenalmu. Dan, saya juga menyukai hujan. 

Akhirnya, sampai dibagian akhir. Aku tidak tahu, apakah surat ini adalah surat cinta, surat pengakuan dosa, ataukah surat kejujuran saya. Tetapi yang pasti, saya sudah tenang bisa memberitahumu. Dan, saat ini saya telah terbang bersama ribuan bidadari di surga. Saya harap, kamu selalu baik-baik saja di sana. Jaga kesehatanmu dan jangan lupa makan. Jika kamu sayang pada saya, jangan pernah merasa sedih ataupun terpuruk saat membaca surat ini. Kamu masih begitu muda, dan banyak orang-orang yang menyayangimu. Jadi, jangan pernah kecewakan mereka. 

                                           Melbourne, 26 Agustus 2012
                                                                       Regards  

                                                              Caroline


Author              : Rafidah Aprilia M. 
Image Source :  rare-vintage.com