Review Book



BUDAYA KONFUSIANISME KOREA SELATAN

                                          

Judul Buku                : The New Korea (Mengungkap kebangkitan Ekonomi Korea Selatan) 
Pengarang                 : Myung Oak Kim dan Sam Jaffe
Penerbit                    : Elex Media Komputindo
Cetakan                    : Pertama
Tahun Terbit              : 2013
Jumlah Halaman        : 346 halaman
Harga Buku              : Rp. 64.800


Buku karya Myung Oak Kim dan Sam Jaffe, merupakan buku yang menjelaskan perjalanan Korea Selatan dalam menempuh kesuksesannya pada bidang ekonomi, yang melibatkan aspek sejarah dan budayanya. Dalam buku ini dituliskan, jika bangsa Korea sangat menjunjung tinggi kerja keras dan semangat kesatuan negaranya sejak tahun 1960-an. Kedua hal tersebut merupakan awal dari kebangkitan ekonomi di Korea. Kemajuan ekonomi yang saat ini diraih oleh negara Korea, bukanlah sesuatu yang sangat mudah diperoleh untuk suatu negara yang pada awalnya hancur akibat perang pada abad ke 20 hingga menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi global saat ini.
            Kerja keras dan semangat kesatuan yang tinggi membuat Korea menerapkan strategi perencanaan yang terpusat. Strategi yang terpusat itu menekankan pada pengeksporan, bidang industri, dan tenaga kerja yang berpendidikan dan berkualitas. Myung Oak Kim dan Sam Jaffe membagi perkembangan ekonomi Korea menjadi tiga tahap. Tahap awal, atau disebut dengan Korea 1.0 direalisasikan pada saat kepemimpinan Park Chung-hee. Pada tahap ini, Korea mengkhususkan diri pada pembuatan industri mobil dan perkapalan yang memanfaatkan semangat kerja keras dan disiplin dengan gaji yang rendah sehingga,  mengantarkan keuntungan pada bidang industri tersebut.
            Pada Korea 1.0, etos kerja dan kedisiplinan masih tetap ada. Namun, Korea tidak lagi memberikan upah yang rendah bagi setiap pekerja. Pendapatan per kapita Korea Selatan saat ini lebih dari US$20.000 per orang, menjadikan Korea sejajar dengan  negara-negara  industri Eropa dan mendekati pendapatan per kapita Jepang dengan jumlah US$38.000. Bahkan, Korea memiliki peluang besar untuk menyaingi Amerika Serikat yang pendapatan per kapitanya US$47.000. Sebuah tantangan besar bagi Korea saat ini yaitu, bagaimana harus menjaga perkembangan ekonomi tersebut dan meningkatkan gaji buruh hingga US$40.000, sementara mereka juga harus bersaing dengan negara berpenghasilan rendah seperti China dan India. Pada saat seperti inilah Korea 1.0 tidak lagi diterapkan dalam perkembangan ekonomi di Korea Selatan. Dan saat itu, perkembangan ekonomi Korea tahap kedua datang, atau disebut dengan Korea 2.0.  Pada Korea 2.0, perekonomian negara didominasi oleh industri-industri baru, seperti hiburan, perangkat elektronik, dan perangkat lunak. Bisnis dibidang industri seperti ini menjadikan pendapatan diera Korea 2.0 lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Namun, industri ini tidak bisa dijalankan berdasarkan prinsip kerja pada Korea 1.0 yang diatur atas perintah presiden. Meskipun demikian, Korea 2.0 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Korea 1.0. Di tahap ini, prinsip kerja keras, disiplin, dan semangat kesatuan masih diterapkan. 
            Negara Korea sangat menghargai sejarah bangsanya. Bagi Korea, sejarah dengan masa sekarang adalah dua hal yang sama pentingnya. Oleh karena itu, pada bagian pertama dalam buku ini, kedua penulis memulai tulisannya dengan meneliti bagaimana sejarah telah membentuk negara yang pada tahun 1997 hingga 1998 mengalami krisis ekonomi ini, menjadi salah satu negara yang berpengaruh didunia. Hal itulah yang menjadikan sejarah sangat penting bagi negara Korea, yaitu adanya masa lalu dan masa depan. Terpecahnya semenanjung Korea menjadi dua bagian yang menganut ideologi yang berbeda, menjadikan kedua negara tersebut saling berselisih. Di Korea bagian Utara menganut ideologi Komunis, sementara Korea Selatan sendiri menganut ideologi Liberalis.
            Saat krisis ekonomi pada tahun 1997 melanda Korea, pemerintah melakukan survei yang diadakan pada 60.000 perusahaan menemukan bahwa satu dari empat perusahaan melakukan pembagian pekerjaan untuk menghindari PHK dengan mengurangi jam kerja, sehingga membuat berkurangnya gaji mereka. Pada tanggal 22 Januari 2009, kepala dari Federation of Korean Trade Unions dan Korea Employers Federation yang mewakili ribuan bisnis mengadakan pertemuan untuk menghadapi krisis ekonomi global. Walupun krisis ekonomi melanda Korea, bangsa korea tetap memperioritaskan semangat kesatuan dan kebanggaan pada bangsanya. Karena bagi mereka semangat kebangsaan dan kesatuan merupakan nilai yang paling berharga, terutama pada saat-saat sulit.
            Buku ini terbagi menjadi lima bagian, dengan judul yang berbeda pada tiap babnya. Bagian pertama menjelaskan tentang sejarah, karena bagaimanapun sejarah ikut membentuk dan membangkitkan ekonomi Korea. Bagian kedua berkaitan dengan masalah ekonomi dan perdagangan. Buku ini mencoba menggali lebih dalam bencana ekonomi yang menimpa Korea pada 1997-1998 dan mengeksplorasi hubungan Korea Selatan dengan Jepang, Cina dan Amerika Serikat.
Dalam buku ini juga melibatkan negara Indonesia dan negara-negara Asia tenggara lainnya. Dimana, pada saat krisis ekonomi di Asia, Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami krisis Asia. Indonesia memiliki dasar ekonomi yang sama dengan negara Thailand yang pertama kali jatuh pada krisis Asia. Manajer-manajer keuangan Amerika Serikat dan Eropa mengetahui kelemahan dari negara-negara Asia tersebut, yaitu dengan melakukan penanaman modal di Asia untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Hanya dengan melihat dasar ekonomi negara-negara Asia Tenggara tersebut. Para investor mengetahui jika Thailand mencoba mempertahankan hubungan nilai mata uangnya dengan dollar. Begitupun Indonesia, nilai mata uang rupiah yang jatuh dan membuat nilai rupiah dipasaran menjadi naik. Hal ini menyebabkan timbulnya aksi demonstrasi yang dilakukan di kota-kota besar di Indonesia yang memaksa pemerintah untuk mundur dari jabatannya. Satu-satunya negara di kawasan Asia yang tidak terpengaruh adalah Korea Selatan. Negara ini memiliki dasar perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan  negara-negara Asia tenggara yang lain, seperti Indonesia dan Thailand.
Lalu, bagaimana cara Korea Selatan dapat terjaga dari krisis Asia? Dari masalah ini dapat disimpulkan, jika Korea Selatan merupakan negara yang sungguh-sungguh pintar. Mereka menekankan nilai ekspor dibandingkan impor. Karena, jika mereka mengimpor barang lebih besar dari pada ekspor, tentunya mereka akan mengalami defisit negara. Pastinya Korea Selatan akan mengeluarkan uang lebih banyak, ketimbang menghasilkan devisa bagi negaranya. Sedangkan, jika ekspor lebih besar dari pada impor, sudah pasti Korea Selatan akan mendapatkan keuntungan bagi devisa negaranya. Mengimpor barang dari luar negara tersebut, pastinya akan mengacaukan nilai mata uang.
Kemudian, bagian ketiga menjelaskan perkembangan industri tertentu, seperti sektor otomotif dan perusahaan swasta, seperti LG dan Samsung. Bab-bab ini memusatkan perhatian pada sesuatu yang lebih kecil dalam rangka mempelajari sesuatu yang lebih besar, agar dapat memberikan pemahaman tentang Korea secara keseluruhan.
Bagian empat mengungkapkan gaya hidup masyarakat Korea modern, termasuk kecintaan dengan golf, bagaimana rasanya bekerja di sebuah perusahaan Korea, dan bagaimana Konfusianisme mendominasi sumber budaya negara. Bab terakhir buku ini menjelaskan lebih lanjut tentang Korea, bagaimana yang harus dilakukan untuk mencapai Korea 3.0. Pada tahap ini, pengembangan perekonomian Korea berada pada titik dengan pijakan ekonomi yang sama dengan Amerika Serikat.
Korea Selatan berhasil menghadapi krisis ekonomi yang dialaminya pada tahun 1997 sampai 1998 melalui sektor video game, perfilman, dan musik korean pop dari negara tersebut. Krisis yang dialami Korea Selatan, tidak menjadikan negara tersebut runtuh begitu saja. Korea Selatan berhasil menyebarkan dampak Korean Wave (gelombang Korea) diseluruh Asia dan negara-negara belahan bumi yang lain, termasuk Amerika dan Eropa. Korean Wave atau biasa disebut dengan “Hallyu” ini telah membawa Korea Selatan keluar dari krisis ekonomi yang selama ini terjadi di negara gingseng itu. Banyak jutaan orang dibelahan dunia, bahkan orang-orang Indonesia dipengaruhi oleh musik korean pop. Mereka mendengarkan musik pop asal Korea, drama-drama Korea, dan perfilman.
Dampak dari penyebaran budaya Korea tidak hanya sekedar pada perfilman, musik, dan televisi dramanya saja. Namun, ketika mereka yang sudah terjangkit virus korean wave, lalu melihat produk-produk asal negeri gingseng itu ditampilkan di media elektronik, maka orang tersebut akan bersedia menghabiskan uang mereka untuk membeli produk-produk tersebut. Apalagi jika melihat artis atau aktor favorit mereka yang menampilkan produk tersebut. Produk-produk yang ditampilkan sangat banyak, mulai dari makanan, kosmetik, pakaian, dan aksesoris. Keberhasilan Korea Selatan dalam memperluas budaya pop ke negara-negara lain telah sukses meningkatkan Produk Domestik Bruto Pariwisata industri dan budaya mereka. Ekspor produk-produk budaya Korea mencapai puncaknya ditahun 2005, yaitu sebesar $2,2 miliar. Tetapi, hidup di negara yang makmur dalam bidang industri seperti Korea Selatan membuat orang-orang sulit untuk mengikuti gaya hidup di Korea Selatan. Di negara ini, kompetisi sangat ketat. Sehingga mereka memiliki jiwa Konfusianisme yang tinggi, yaitu suatu ajaran yang dibuat oleh Konfusius, mereka percaya bahwa manusia perlu bekerja demi kebaikan bersama dan bahwa suatu masyarakat harus mengikuti suatu struktur yang kuat dan kedudukan untuk memperoleh keharmonisan. Korea adalah satu-satunya negara dalam Organization for Economic Coorporation and Development yang rakyatnya bekerja lebih dari 2.000 jam per tahun. Reputasi orang Korea yang gemar bekerja bukanlah suatu kebetulan. Hal ini berasal dari budaya Korea yang menganut Konfusianisme.
  Kelebihan dari buku ini adalah mengubah pola pikir kita sebagai manusia berkaitan dengan sejarah, jiwa kesatuan, dan kedisiplinan. Karena dalam buku ini dijelaskan secara detail, bagaimana sejarah, semangat kesatuan, dan nilai kedisiplinan mampu mengubah Korea Selatan menjadi sebuah negara yang besar dan diakui di dunia. Buku ini juga mampu membuka wawasan pembacanya dalam mewujudkan pembangunan nasional suatu bangsa. Bahasa yang dituliskan dalam buku ini juga tidak begitu sulit. Kedua penulis menggunakan bahasa yang ringan, jelas dan mudah dimengerti. Namun, dalam buku ini terdapat beberapa istilah yang sulit untuk dipahami para pembaca. Kedua penulis menggunakan istilah yang membutuhkan sebuah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Seperti kata Obligasi, Aristrokat, dan Diktator. Bagi sebagian pembaca, mungkin kata-kata tersebut tidak begitu familiar, atau bahkan belum mendengar sama sekali. Seharusnya, penulis menyertakan glosarium untuk mendefinisikan istilah-istilah yang tidak umum ditemukan.
Buku karya Myung Oak Kim dan Sam Jaffe ini sangat menarik untuk dibaca oleh khalayak umum. Terutama kepada pemimpin negara dan bangsa-bangsa lain, juga untuk negara Indonesia. Karena buku ini mengajarkan kita bagaimana untuk selalu semangat dalam menghadapi segala keterpurukan walaupun masalah itu berat sekalipun. Bagaimana kecintaan terhadap kebudayaan bangsa dapat memberikan pengaruh yang besar bagi suatu negara.  Buku ini juga mengajarkan kita tentang semangat bekerja. Betapa pentingnya sebuah pekerjaan bagi setiap orang dan juga bagi suatu bangsa. Terlebih lagi dizaman sekarang, kerja keras dan semangat sangat dibutuhkan dalam bekerja. Sebuah buku yang mengungkap faktor-faktor yang membawa negara Korea Selatan mencapai kesuksesan, kekuatan, kelemahan, dan potensi bangsanya. Karena Tuhan pasti akan menggenggam segala cita-cita yang di mimpikan suatu bangsa.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar