Kamis, 24 Oktober 2013

Pangeran Angin dan Cinderella Awan Pink





 "Entah kisah hidupku dapat disebut dongeng atau bukan. Kisah ini adalah kisah fiksi yang menyampaikan kesan manis, menyedihkan, ataupun rasa luka yang dalam di hati. Ini bukanlah sebuah rasa yang biasa, tapi lebih dari itu. Aku terperangkap dalam gelora cinta, kebimbangan, bahkan kehilangan. Kau terus mencoba membayangi pikiranku, Kau seolah dekat denganku dan aku mencoba menangkapmu, tapi ketika ku coba kau justru menjauh seperti halnya angin. Bagiku, cinta adalah apa yang aku lakukan, apa yang aku bayangkan, dan apa yang aku rasakan. Kau tak berhak mengutukku seperti ini, bagaikan Cinderella pink yang hanya bisa tunduk terhadap perasaan yang membuatnya gila."

  Viona mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamar. Ekor matanya terlihat sangat lelah, karena sedari tadi menatap tajam ke arah komputer. Di sekitar meja kerjanya, banyak tumpukkan kertas-kertas dan ada yang berhamburan di sekeliling kamar yang terkesan muram dan berantakan. Lelah, sepertinya hanya kata itu yang sekarang sedang berkutat dipikirannya. Ia harus berusaha keras untuk menerjemahkan naskah-naskah yang masuk untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kata per kata ia teliti secara detail, sampai ia tidak menemukan sedikit kesalahan pada terjemahannya. Sangat sulit memang, namun inilah konsekuensinya jika menjadi seorang penterjemah sebuah novel penulis terkenal. 

***
  Alex Joo melemparkan sekumpulan kertas yang sudah tertata rapi itu dengan sangat keras ke atas meja. Sementara itu, di depannya duduk seorang gadis berambut panjang. Ia hanya dapat menunduk lemah dan mendengarkan cacian demi cacian yang dilontarkan oleh Alex Joo Clark.
"Apa ini yang disebut penterjemah?" tanyanya garang. Sedangkan Viona terus menatap kertas-kertas diatas
meja yang berhamburan dengan tatapan bimbang. Ia tidak tahu harus berkata apa pada laki-laki yang
melemparkan kertas-kertas berisi naskah itu dihadapannya. Jangankan untuk berbicara, menatapnya saja
sudah jelas tidak akan ia lakukan.
"Kenapa diam!" ucapnya geram sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, aku tidak bermaksud asal-asalan menerjemahkan naskahmu." jawab Viona dengan penuh paksaan menjawab pertanyaan Alex yang terlihat sudah sangat marah.

"Apa? Kau bilang tidak asal-asalan? Ini sudah sangat buruk, tulisanmu bisa menjatuhkan aku sebagai seorang novelis." bantahnya. Viona berusaha untuk tidak terpancing oleh emosinya. Ia terus berusaha menarik napasnya, kemudian mengeluarkannya secara perlahan.

"Kau ini bodoh atau tuli? Aku sudah lama berbicara, tapi kau hanya diam, diam dan terus diam! Sekali menjawab hanya kata-kata tak beralasan logis yang dilontarkan. Viona, bisakah kau bersikap lebih profesional?" tukasnya dengan nada semakin geram.

Viona menggeleng cepat. Segera ia menyudahi pertengkarannya dengan Alex. "Aku memang bukan orang terkenal, novelis sepertimu. Tapi, setidaknya aku masih memiliki cara yang baik untuk memarahi orang lain." Viona berucap lirih. Segera ia meninggalkan ruangan itu dengan hati menjerit.

***
Di ruangannya, Viona menangis sesugukkan. Ia tak menyangka hidupnya bisa dikendalikan oleh seorang novelis best sellers asal Korea Selatan itu. 

"Udah Vi, jangan nangis begitu. Mungkin dia sedang emosi sesaat, jangan diambil hati mengenai pembicaraannya padamu." suara lembut Ellena terngiang ditelinga Viona. Gadis berkacamata itu mengusap bahu Viona dengan lembut. Ellena adalah kakak dari Alex Joo, ia pemilik penerbitan tempat Viona bekerja. Ellena juga seseorang yang telah memperkenalkan Viona kepada Alex, sekaligus bekerja untuk adiknya itu. 

 "Kamsahamnida eonni." Viona berucap lirih sambil tersenyum tipis.

   Ellena Joo segera beranjak keluar ruangan, hingga punggungnya hilang dari pandangan Viona. Tak berapa lama kemudian, sekitar lima menit laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna putih masuk ke dalam ruangan Viona. Ia berdiri tepat dihadapan gadis itu sambil tersenyum manis.

"Kau yang bernama Viona Angela?" tanyanya dengan senyum masih menghiasi bibir.

Viona diam membisu menatap laki-laki didepannya. "Ya, aku Viona. Maaf, kau siapa?" Viona mengernyitkan dahi.

Laki-laki itu kemudian mengulurkan tangannya pada Viona. "Aku Park Jae Hee." ucapnya dengan senyum mengembang.

Viona membalas senyum Park Jae Hee, sebuah senyuman yang tak kalah indahnya dengan senyum yang dimiliki Park Jae Hee. "Kau ada perlu apa menemuiku?" tanyanya dengan mimik wajah penasaran.

"Ehem... Ellena memintaku agar saat ini kau bekerja denganku." ucapnya tegas.

"Mwo? Lalu, bagaimana dengan Alex? Dia masih membutuhkanku."

Laki-laki itu memegang saku celananya sambil tersenyum, "Kau tidak perlu khawatir. Ellena sudah mencarikan editor sekaligus penterjemah untuknya."

   Viona tersenyum pada Park Jae Hee, laki-laki yang baru saja dikenalnya. Viona, gadis lugu, baik, dan mencintai warna pink itu kini telah terbebas dari kutukan laki-laki angin seperti Alex Joo. Namun, ia tidak dapat langsung mempercayai apa yang dikatakan Jae Hee padanya. Setelah laki-laki itu keluar ruangannya, Viona bergegas menelepon Ellena. Ditekanlah tombol ponsel dengan nama "Ellena"

"Yoboseyo?"

"Ne, yoboseyo. Ada apa kau meneleponku?" tanya Ellena.

"Eonni, Apa benar kau mengirimkan penulis lain untukku? Lalu, bagaimana dengan Alex?"

Terdengar  suara tawa kecil diujung sana. "Viona, kau tidak perlu khawatir tentangnya. Aku sudah mengirimkan pengganti untuk adikku. Kau bekerja saja untuk Jae Hee. Dia lebih membutuhkanmu dibandingkan adikku." jelasnya.

"Hmm... baiklah. Kamsahamnida eonni. Mianhae, jika aku mengganggumu"

"Ne, gwaenchanayo." ucap Ellena kemudian memutus sambungan ponselnya.

***

"Apa? Kakak mau menggantikan  Viona dengan orang lain?" ujar Alex terkejut sekaligus geram.

"Ya, benar. Memangnya kenapa? Bukankah kau tidak menyukainya?" Ellena menatap adiknya dengan mata disipitkan.

Alex memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Mmm... aku tahu sejak awal aku membenci dia. Tapi,bukan begini caranya. Dia belum melakukan hal banyak untukku." 

"Apa kau bilang? Hal banyak? Alex, sekali kau membenci, tetap saja akan membenci. Kau tidak boleh menjadikan Viona sebagai pelampiasanmu terhadap mantan kekasihmu Jessica yang dulu pernah meninggalkanmu."

"Tapi..." Alex mencoba menyangkal ucapan kakaknya, namun segera Ellena membantahnya. "Tidak! Mulai saat ini, Kakak tidak akan membiarkan Viona disakiti oleh siapapun. Dia itu gadis baik-baik Lex, tidak sepantasnya kau memperlakukan dia seperti layaknya pesuruh." ucapnya tegas, lalu segera meninggalkan ruangan Alex.

***
Hari-hari terus berlalu, Alex yang pada awalnya menolak jika kakaknya menggantikan Viona dengan orang lain. Akhirnya laki-laki itu menyetujui tindakan kakaknya.  Terasa berbeda memang, Alex yang dahulu suka memarahi editor sekaligus penterjemah novelnya, kali ini tidak. Ia lebih sering mengikuti aktivitas Viona, mulai dari blog milik Viona, sosial media miliknya, dan mengikuti kemana gadis itu melangkah.

"Tuhan! Apakah aku sudah gila?" bisik Alex dalam hati. 

Alex menancap gas mobil sport miliknya, dan pergi meninggalkan gedung penerbitan milik Jae Hee.

***


Wednesday, April 16, 2012
Dear, Pangeran Angin.

Aku mengagumimu seperti sang awan mengagumi angin. Kau selalu seperti angin yang menerbangkanku dimana saja, kapan saja, sesuai keinginanmu. Aku tidak mengharapkan apapun darimu, termasuk apa saja yang kau miliki. Yang aku mau hanya satu, yaitu KAU. Bagiku, dirimu seperti Pangeran Angin yang siap memerintah Cinderella yang lemah sepertiku. Yang aku ingin hanya satu, saat kita bertemu, saat kita bersama, mata ini hanya menangkap sosok kami satu sama lain. Kau membantuku mengindahkan langit, dan aku akan membantumu agar kau selalu tampak berguna. 

Mungkin kau tak ingin mengenalku begitu dalam, Karena kau selalu menilai lemah diriku. Tapi, setiap waktu aku selalu merasa kehilangan. Entah karena kenangan yang mungkin tak indah itu, atau karena tak mendengar suaramu yang begitu dingin, sikapmu yang juga dingin seperti angin. Tak hanya awan, aku merasakan tubuhku seperti daun-daun yang berguguran dimusim semi. Siap diterbangkan kemana saja, tanpa adanya pembalasan. Yang aku ingin hanya satu, Semoga kekuatan cinta akan mempertemukan kau dan aku kembali.
                                                                                                        

                                                                                                     Dipostkan oleh   -Viona Angela-
***

Viona memejamkan kedua matanya, sambil menarik napasnya dalam-dalam ditemani oleh daun-daun yang berguguran di taman Seongnakwon. Tiba-tiba saja didepannya berdiri laki-laki dengan paras tampan dan kulit yang putih bercahaya. Rambut lurus berwarna hitam dan garis wajah yang tegas dengan tatapan matanya yang tajam tentu tidak dapat Viona lupakan. Sedikit saja tidak! Laki-laki itu tersenyum manis ke arah Viona yang mulai membuka matanya. 

"Alex?"

"Senang kau masih mengenaliku." 

Viona terlihat gugup, apakah ia harus senang bertemu laki-laki yang jelas-jelas telah membencinya ataukah tidak sama sekali. Seharusnya memang tidak!

"Maaf, aku harus pergi." ujar Viona kemudian beranjak dari kursi. Tiba-tiba saja Alex menahan tangannya lalu memeluk gadis itu dalam pelukannya.

"Maaf, maafkan aku Viona. Aku salah! Aku tahu, aku salah! Kau telah menuliskan banyak tentangku diblogmu."

Viona yang didekap erat oleh Alex merasa bingung dengan tingkah laki-laki itu. "Kau kenapa? Jangan memelukku terlalu erat! Aku sulit bernapas. " 

Alex melepaskan pelukannya pada Viona, lalu berkata "Saranghamnida." 

Viona terkejut melihat ucapan Alex padanya, Ia tersenyum pada Alex. Kemudian Alex langsung mencium kening gadis dihadapannya. 

"Nado saranghae." ujar Viona.

 Pada akhirnya, cintalah yang akan mempertemukan Angin dan Awan Pink. Karena angin tak mungkin lepas dari sang awan yang melengkapi kehidupan di langit.


Source Image : http://flickrcc.bluemountains.net




   

Selasa, 15 Oktober 2013

I Hate Seven

Tujuh? Mungkin bagi kebanyakan orang, angka tujuh adalah angka kebereruntungan. Angka yang selalu dipuji-puji karena keberuntungannya. Hmm,,, entahlah, itu mitos atau bukan. Dulu, aku sangat mempercayai jika angka tujuh adalah angka keberuntungan bagi orang yang mendapatkannya. Entah saat mendapat nomor ujian, nomor antrian, nomor absen, dan sebagainya. Bahkan saat mendapat nomor kamar. Yupss,,,, itu yang terjadi padaku. Nomor kamar telah membuatku membenci angka tujuh. Kenapa? Bukankah angka tujuh adalah angka keberuntungan? Angka sial kan angka tiga belas?

      Aku mengawali kebencianku akan angka tujuh, saat aku mulai bertransformasi menjadi dewasa. Waktu itu aku meneruskan pendidikanku di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.  Kedua orangtuaku sangat sibuk untuk mencarikan tempat kost di sekitar kampus. Kebetulan sekali, Ayah dan Ibuku langsung mendapatkan salah satu tempat kost yang menurut mereka lumayan bagus. hufffttt..... -____-" *sebenernya yang kuliah siapa?*

       Dengan perasaan bimbang, dan campur aduk. Karena aku gak menyangka jika akan ngekost. So, would not want, I have to do it!. Ehem,,,, begini ceritanya. Kedua orangtuaku menyarankan aku untuk kost, karena jarak rumah aku ke kampus lumayan jauuuuuhhh..... Bisa2 telat terus, dan gak dapat matakuliah. Balik lagi nih ke kostan, Milih- milih tentang kostan, ibuku sempat melihat terlebih dahulu kamar kostku. Lalu, ia tertarik memilih kostan kamar nomor "7". Huaaa,,,,, gak kebayang kan????
Ibuku sih, terserah aku ajah. Mau pilih yang mana sih, itu adalah hakku. Karena yang menjalani kan aku sendiri. Akhirnya, Aku melihat-lihat kamar nomor tujuh tersebut. Kamarnya sih bagus, tepat di tengah-tengah dari lingkaran taman. Karena didepannya ada taman yang lumayan enak buat duduk-duduk. Ibuku menawarkan 2 kamar yang masih kosong, pertama kamar nomor lima yang masih kosong dan yang kedua adalah kamar nomor tujuh tersebut. Dari situ, aku sangat percaya jika angka tujuh adalah angka keberuntungan. terlebih lagi, dulu guru matematika ku saat di SMA menyukai angka tujuh karena ia selalu menceritakan keberuntungannya akan angka tujuh. Terlebih lagi ia lahir di tanggal tujuh. Tanpa basa-basi, aku langsung memilih angka tujuh, upssss... maksudku kamar nomor "7" untuk tempat kostku. Ibuku langsung memboking kamarnya.

        Selama ospek, aku belum menetap dikostan itu. Pindah ajah belum, apalagi untuk menetap. -___-".  Namun, setelah memulai aktivitas perkuliahan aku langsung pindah ke kostan itu. Tak sampai berapa minggu aku tinggal dikostan itu, langit-langit kamar nomor tujuh itu sudah "bocor". Dan terlebih lagi, bocornya itu air dari saluran spiteng. *jijik bgt* -________________-"""

        Karena merasa gak nyaman, yah jelas lah gak nyaman!!!! Orang air rembesannya bekas sepiteng. *grgrgr* aku complain sama yang punya kost. Setelah complain cukup lama, baru tuh kamar dibetulin. Maless bgt deh, ni bibir sampe doerrrrr complain terus!!!! -_-"

         Dari situ deh, aku mulai ragu-ragu sama yang namanya angka tujuh. Dan hari terus berganti, masalah tetep ajah muncul diangka tujuh. Dari kamar yang bocor, Air mati gak nyala-nyala, pokoknya sebellllll deh. Harganya sih cukup mahal untuk satu perorang.
Dari banyak masalah dari angka tujuh, Finally, I started to hate the name the number seven. I think the myth of the people and my teacher was wrong. Figures never guarantee fortune, which ensures only the Lord. Masa kamar lain jarang bermasalah, sedangkan kamar nomor tujuh bermasalah terus? Why? Why?
-_-" ..........
        Itu ajah sih cerita mengenai angka tujuh. Semoga gak pernah lagi terkecoh oleh mitos angka tujuh adalah angka keberuntungan.








Rabu, 09 Oktober 2013

My Activity

It felt very tired during this week. At any time, minutes, even for a second, there was no time to do anything else other than the world of art college. First, I think it's nice if the world lecturing, his job is not much, can be relaxed, and the streets deh.
But, in fact wrong. moreover I major in art, there are very a lot of tasks. I actually exceeds the current task in junior high school science department.

In the world who think it's my new departure, first I felt a very deep regret. Even so, I should be ready to go through all my choices on this department. it felt like a child who had transformed in the new world.

Hmmm,,,, ya lazy writing, so devastated like this ya. Anyway, the end of the two weeks I was very tired. I'll see you again next dipostingan ...... Bye,,, Bye,,,!!!!