Malam
itu, hujan cukup deras mengguyur kota London. Di sudut ruangan, tepatnya di
dekat jendela kafe, seorang laki-laki memakai topi berwarna hitam tengah duduk
dan sesekali ia menyesap espresso miliknya. Baju dan topinya sedikit basah, ia melepaskan
topinya, lalu mengibas-ngibaskan berkali-kali bagian yang basah itu dengan
tangannya. Sesaat kemudian, matanya menjurus ke luar bingkai kaca yang buram. Manik
matanya sangat sendu, senyap seperti keadaan kota London malam itu.
Dia
mencari sesuatu dari kantung celananya. Benda mungil berwarna hitam itu ditekannya.
Hingga lampu menyala terang di layar kecil itu. Cahayanya bertemu dengan segurat
wajah tirusnya. Menciptakan bayangan hitam dibalik kulitnya yang putih. Ia
hendak melihat apakah ada pesan masuk atau tidak. Sedetik kemudian, ia meletakkan
benda itu di samping cangkir berisikan cairan berwarna cokelat pudar. Kecewa. Itu
yang bisa diisyaratkan dari tatapannya.
Matanya
kembali menoleh ke luar jendela. Mendesah berkali-kali. Entah sudah kali
keberapa dia mengatur napasnya.
“Tuan,
apakah ini payung milik anda?”
Suara
berat itu membuyarkan pikiran laki-laki itu. Ia mengangkat wajahnya, melihat
sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Laki-laki berkacamata. Memegang payung
berwarna tosca yang sudah terlipat rapi. Ia berharap yang ada di hadapannya
adalah seseorang yang ditunggunya sejak setengah jam lalu. Namun itu salah. Harapannya
sia-sia.
Laki-laki
itu beringsut dari tempat duduknya. “Ya, benar. Ini payung milik saya.”
“Maaf,
saya terpaksa melipat payung ini. Karena payung anda menghalangi jalan.” kata
laki-laki itu sembari mengulurkan tangannya. Menyerahkan payung itu pada
pemiliknya.
Laki-laki
itu tersenyum, tidak enak hati. “Ya, tidak apa-apa. Seharusnya saya yang
meminta maaf. Terimakasih telah berbaik hati menyerahkan payung ini kepada
saya.” katanya.
“Sama-sama.” Laki-laki berkacamata itu
tersenyum dan segera berlalu. Laki-laki yang tengah menunggu itu kembali duduk.
Menyandarkan payung yang basah itu di kaki meja. Ia kembali menyesap espresso
miliknya. Lalu mendesah berat.
Lima
belas menit berlalu...
Laki-laki
itu masih setia di tempat duduknya. Namun, seseorang yang ditunggunya tidak
kunjung datang. Entah sudah berapa kali ia memesan secangkir espresso. Payungnya
pun sudah tidak basah lagi. Ia melirik sekali lagi ke arah pintu masuk kafe.
Berharap ekor matanya menemukan sosok yang ditunggunya.
Ia
menyambar ponsel yang diletakkannya di atas meja. Melihat kembali layar kecil
itu. Nasibnya tetap sama, tidak ada pesan. Ia berusaha mengetikkan sesuatu,
menekan setiap tombol dengan lincah. Mencari kontak nomor penerima. Ia sedikit
ragu untuk mengirim. Sampai akhirnya ia menyimpan ke dalam draft.
Laki-laki
itu hendak berdiri, mengambil ponselnya. Dan, berjalan meninggalkan meja itu. Langkahnya
membawa laki-laki itu ke kamar kecil.
Lima
menit kemudian...
Ia
kembali kepada mejanya. Menunggu dan tetap menunggu. Sesampainya di meja itu,
manik matanya menatap lekat-lekat benda berselimut biru yang terletak di meja. Sebelumnya,
ia tidak menemukan sesuatu di meja itu. Laki-laki yang menunggu itu mengedarkan
pandangan ke sekeliling kafe. Tidak ada yang ganjil. Orang-orang tetap sama,
setia pada mejanya. Berbincang dengan lawan bicaranya. Menikmati sajian yang
terhidang di meja. Sesekali, mereka menyunggingkan senyuman di bibirnya. Atau
menciptakan gelak tawa yang menderu, bersamaan dengan suara hujan. Sedangkan
dirinya, laki-laki itu hanya sendiri. Duduk menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Ia
mengambil surat yang berselimut amplop biru itu. Ia meraba ujungnya, merobek
sisi yang terekat dengan lem. Di dalamnya terdapat selembar kertas putih. Berisi
beberapa baris kata yang tersusun rapi. Membentuk beberapa paragraf yang
teratur.
Dear, Kev
Aku tahu, saat membaca surat ini,
mungkin kau masih tetap menunggu. Menunggu saya yang tidak kunjung datang. Sebelumnya
saya minta maaf, karena telah membuatmu menunggu. Namun, saya harap kamu tidak
pernah menyesal atau merasa kecewa karena menunggu. Kuakui, Keputusanmu sangat
tepat untuk menunggu. Setidaknya, saya dapat memberitahumu tentang kabar ini.
Meskipun raga saya tidak berada di hadapanmu.
Kau tahu, aku dengan susah payah
menulis surat ini. Secarik kertas yang tergeletak berjam-jam di meja saya tidak
kunjung membuat saya menuliskan sesuatu. Bahkan satu kata pun saya tidak bisa
menulis. Saya hanya diam memandanginya. Mencoba merangkai kata-kata yang tepat
untuk memberitahumu. Namun sayang, kepala saya tidak dapat berpikir. Kosong.
Seperti mug yang tidak berisi espresso, minuman kesukaanmu.
Kev, saya memang bukan orang yang
romantis. Hingga saya tidak pernah sadar tentang apa pun yang kamu berikan pada
saya. Bukan sekadar benda, namun pengorbananmu pada saya. Saya ingin memberitahu, mawar dan sekotak cokelat
itu sudah sampai di tangan saya seminggu yang lalu. Saya suka bunga mawar
pemberianmu. Begitupun cokelat belgia yang kau berikan untuk saya.
Kev, maaf baru memberitahumu sekarang. Saya
sudah tidak di London saat ini. Surat ini saya titipkan kepada pemilik kafe. Dia
adalah sahabat saya. Mungkin dia akan memberikan surat ini dengan caranya
sendiri. Dia orang yang misterius. Sama sepertimu. Sejak kamu meminta saya
menemuimu di kafe itu, saya segera membuat surat ini.
Lima hari yang lalu, saya berangkat ke Melbourne
untuk menghadiri prosesi pemakaman ayah saya. Sebelum beliau menghembuskan
napas terakhirnya, ia meminta saya untuk selalu menemaninya. Ayah saya, adalah
satu-satunya teman hidup yang mengisi hari-hari berharga saya. Sebelum akhirnya,
saya bertemu denganmu. Jujur, saya malu mengakui hal ini padamu. Tetapi, jika
saya tidak mengatakannya segera, saya takut kamu akan berpikiran negatif
tentang saya.
Kev, terimakasih karena selama saya
menempuh pendidikan di London, kamu selalu ada untuk saya. Memberi saya
pengertian yang berbeda untukmu. Kamu baik dan sangat baik. Saya sangat senang
memiliki teman sekaligus sahabat sepertimu. Saya senang kamu selalu
mengkhawatirkan saya jika saya telat pulang ke flat. Kamu rela menunggu
berjam-jam di depan pintu flat saya hingga membiarkan matamu yang sudah lelah
itu terus terbuka.
Di London, saya bekerja sebagai seorang
perawat. Tetapi, perawat sukarela. Saya rela tidak dibayar, asal saya bisa
membantu mereka yang sakit. Oleh sebab itu, saya sering pulang larut malam. Namun,
akhir-akhir ini saya merasa lelah. Cepat sekali lelah. Metabolisme saya sangat
rentan terhadap penyakit. Hingga saatnya, saya sering lupa makan. Di kampus
pun, saya sering lupa makan. Karena saya sibuk dengan tugas-tugas yang saya
miliki. Kejujuran saya yang kedua, tentunya kamu tahu jika saya sekolah di
London berkat program beasiswa saya. Karena itu, saya sangat bersungguh-sungguh
dalam menjalani pendidikan ini. Saya tidak ingin membuat kedua hati saya
kecewa. Yaitu ayah dan ibu saya. Terutama ayah yang masih hidup kala itu.
Namun sayang, setelah saya lulus
mendapat gelar master di London. Saya harus menerima kenyataan ini. Maaf, saya
baru memberitahumu. Saya harus menderita salah satu penyakit. Saya harap kamu
jangan sedih dahulu. Saya ingin melihat kamu tersenyum. Dokter mengatakan jika
saya menderita kanker lambung. Dan, waktu saya tidak banyak lagi. Setelah saya
mengantar jasad ayah saya, mungkin waktu saya tidak banyak lagi. Saya tidak mau
jika kamu terus menerus mengharapkan sesuatu dari saya. Saya ingin mengatakan,
jika saya memiliki perasaan yang sama sepertimu. Tetapi, saya bukan orang yang
bersedia mengumbar cinta saya secara terang-terangan. Apalagi terhadap orang
lain.
Saya senang, karena saya dapat memberitahumu
tentang hal ini. Mungkin, saat ini kamu sedang menikmati hujan yang bernyanyi
merdu. Saya tahu itu, karena saya cukup mengenalmu. Namun tidak sekenal ayah-
ibumu mengenalmu. Dan, saya juga menyukai hujan.
Akhirnya, sampai dibagian akhir. Aku tidak
tahu, apakah surat ini adalah surat cinta, surat pengakuan dosa, ataukah surat
kejujuran saya. Tetapi yang pasti, saya sudah tenang bisa memberitahumu. Dan,
saat ini saya telah terbang bersama ribuan bidadari di surga. Saya harap, kamu
selalu baik-baik saja di sana. Jaga kesehatanmu dan jangan lupa makan. Jika kamu
sayang pada saya, jangan pernah merasa sedih ataupun terpuruk saat membaca
surat ini. Kamu masih begitu muda, dan banyak orang-orang yang menyayangimu. Jadi,
jangan pernah kecewakan mereka.
Melbourne,
26 Agustus 2012
Regards
Regards
Caroline
Author : Rafidah Aprilia M.
Image Source : rare-vintage.com