Senin, 08 September 2014

Hujan dan Amplop biru untuk Kev



Malam itu, hujan cukup deras mengguyur kota London. Di sudut ruangan, tepatnya di dekat jendela kafe, seorang laki-laki memakai topi berwarna hitam tengah duduk dan sesekali ia menyesap espresso miliknya.  Baju dan topinya sedikit basah, ia melepaskan topinya, lalu mengibas-ngibaskan berkali-kali bagian yang basah itu dengan tangannya. Sesaat kemudian, matanya menjurus ke luar bingkai kaca yang buram. Manik matanya sangat sendu, senyap seperti keadaan kota London malam itu. 

Dia mencari sesuatu dari kantung celananya. Benda mungil berwarna hitam itu ditekannya. Hingga lampu menyala terang di layar kecil itu. Cahayanya bertemu dengan segurat wajah tirusnya. Menciptakan bayangan hitam dibalik kulitnya yang putih. Ia hendak melihat apakah ada pesan masuk atau tidak. Sedetik kemudian, ia meletakkan benda itu di samping cangkir berisikan cairan berwarna cokelat pudar. Kecewa. Itu yang bisa diisyaratkan dari tatapannya. 

Matanya kembali menoleh ke luar jendela. Mendesah berkali-kali. Entah sudah kali keberapa dia mengatur napasnya. 

“Tuan, apakah ini payung milik anda?” 

Suara berat itu membuyarkan pikiran laki-laki itu. Ia mengangkat wajahnya, melihat sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Laki-laki berkacamata. Memegang payung berwarna tosca yang sudah terlipat rapi. Ia berharap yang ada di hadapannya adalah seseorang yang ditunggunya sejak setengah jam lalu. Namun itu salah. Harapannya sia-sia. 

Laki-laki itu beringsut dari tempat duduknya. “Ya, benar. Ini payung milik saya.”

“Maaf, saya terpaksa melipat payung ini. Karena payung anda menghalangi jalan.” kata laki-laki itu sembari mengulurkan tangannya. Menyerahkan payung itu pada pemiliknya. 

Laki-laki itu tersenyum, tidak enak hati. “Ya, tidak apa-apa. Seharusnya saya yang meminta maaf. Terimakasih telah berbaik hati menyerahkan payung ini kepada saya.” katanya.

 “Sama-sama.” Laki-laki berkacamata itu tersenyum dan segera berlalu. Laki-laki yang tengah menunggu itu kembali duduk. Menyandarkan payung yang basah itu di kaki meja. Ia kembali menyesap espresso miliknya. Lalu mendesah berat. 

Lima belas menit berlalu... 

Laki-laki itu masih setia di tempat duduknya. Namun, seseorang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Entah sudah berapa kali ia memesan secangkir espresso. Payungnya pun sudah tidak basah lagi. Ia melirik sekali lagi ke arah pintu masuk kafe. Berharap ekor matanya menemukan sosok yang ditunggunya. 

Ia menyambar ponsel yang diletakkannya di atas meja. Melihat kembali layar kecil itu. Nasibnya tetap sama, tidak ada pesan. Ia berusaha mengetikkan sesuatu, menekan setiap tombol dengan lincah. Mencari kontak nomor penerima. Ia sedikit ragu untuk mengirim. Sampai akhirnya ia menyimpan ke dalam draft. 

Laki-laki itu hendak berdiri, mengambil ponselnya. Dan, berjalan meninggalkan meja itu. Langkahnya membawa laki-laki itu ke kamar kecil. 

Lima menit kemudian...

Ia kembali kepada mejanya. Menunggu dan tetap menunggu. Sesampainya di meja itu, manik matanya menatap lekat-lekat benda berselimut biru yang terletak di meja. Sebelumnya, ia tidak menemukan sesuatu di meja itu. Laki-laki yang menunggu itu mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Tidak ada yang ganjil. Orang-orang tetap sama, setia pada mejanya. Berbincang dengan lawan bicaranya. Menikmati sajian yang terhidang di meja. Sesekali, mereka menyunggingkan senyuman di bibirnya. Atau menciptakan gelak tawa yang menderu, bersamaan dengan suara hujan. Sedangkan dirinya, laki-laki itu hanya sendiri. Duduk menunggu sesuatu yang tidak pasti. 

Ia mengambil surat yang berselimut amplop biru itu. Ia meraba ujungnya, merobek sisi yang terekat dengan lem. Di dalamnya terdapat selembar kertas putih. Berisi beberapa baris kata yang tersusun rapi. Membentuk beberapa paragraf yang teratur. 

 
Dear, Kev
Aku tahu, saat membaca surat ini, mungkin kau masih tetap menunggu. Menunggu saya yang tidak kunjung datang. Sebelumnya saya minta maaf, karena telah membuatmu menunggu. Namun, saya harap kamu tidak pernah menyesal atau merasa kecewa karena menunggu. Kuakui, Keputusanmu sangat tepat untuk menunggu. Setidaknya, saya dapat memberitahumu tentang kabar ini. Meskipun raga saya tidak berada di hadapanmu. 

Kau tahu, aku dengan susah payah menulis surat ini. Secarik kertas yang tergeletak berjam-jam di meja saya tidak kunjung membuat saya menuliskan sesuatu. Bahkan satu kata pun saya tidak bisa menulis. Saya hanya diam memandanginya. Mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk memberitahumu. Namun sayang, kepala saya tidak dapat berpikir. Kosong. Seperti mug yang tidak berisi espresso, minuman kesukaanmu. 

Kev, saya memang bukan orang yang romantis. Hingga saya tidak pernah sadar tentang apa pun yang kamu berikan pada saya. Bukan sekadar benda, namun pengorbananmu pada saya. Saya  ingin memberitahu, mawar dan sekotak cokelat itu sudah sampai di tangan saya seminggu yang lalu. Saya suka bunga mawar pemberianmu. Begitupun cokelat belgia yang kau berikan untuk saya. 

Kev, maaf baru memberitahumu sekarang. Saya sudah tidak di London saat ini. Surat ini saya titipkan kepada pemilik kafe. Dia adalah sahabat saya. Mungkin dia akan memberikan surat ini dengan caranya sendiri. Dia orang yang misterius. Sama sepertimu. Sejak kamu meminta saya menemuimu di kafe itu, saya segera membuat surat ini. 

Lima hari yang lalu, saya berangkat ke Melbourne untuk menghadiri prosesi pemakaman ayah saya. Sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya, ia meminta saya untuk selalu menemaninya. Ayah saya, adalah satu-satunya teman hidup yang mengisi hari-hari berharga saya. Sebelum akhirnya, saya bertemu denganmu. Jujur, saya malu mengakui hal ini padamu. Tetapi, jika saya tidak mengatakannya segera, saya takut kamu akan berpikiran negatif tentang saya. 

Kev, terimakasih karena selama saya menempuh pendidikan di London, kamu selalu ada untuk saya. Memberi saya pengertian yang berbeda untukmu. Kamu baik dan sangat baik. Saya sangat senang memiliki teman sekaligus sahabat sepertimu. Saya senang kamu selalu mengkhawatirkan saya jika saya telat pulang ke flat. Kamu rela menunggu berjam-jam di depan pintu flat saya hingga membiarkan matamu yang sudah lelah itu terus terbuka. 

Di London, saya bekerja sebagai seorang perawat. Tetapi, perawat sukarela. Saya rela tidak dibayar, asal saya bisa membantu mereka yang sakit. Oleh sebab itu, saya sering pulang larut malam. Namun, akhir-akhir ini saya merasa lelah. Cepat sekali lelah. Metabolisme saya sangat rentan terhadap penyakit. Hingga saatnya, saya sering lupa makan. Di kampus pun, saya sering lupa makan. Karena saya sibuk dengan tugas-tugas yang saya miliki. Kejujuran saya yang kedua, tentunya kamu tahu jika saya sekolah di London berkat program beasiswa saya. Karena itu, saya sangat bersungguh-sungguh dalam menjalani pendidikan ini. Saya tidak ingin membuat kedua hati saya kecewa. Yaitu ayah dan ibu saya. Terutama ayah yang masih hidup kala itu. 

Namun sayang, setelah saya lulus mendapat gelar master di London. Saya harus menerima kenyataan ini. Maaf, saya baru memberitahumu. Saya harus menderita salah satu penyakit. Saya harap kamu jangan sedih dahulu. Saya ingin melihat kamu tersenyum. Dokter mengatakan jika saya menderita kanker lambung. Dan, waktu saya tidak banyak lagi. Setelah saya mengantar jasad ayah saya, mungkin waktu saya tidak banyak lagi. Saya tidak mau jika kamu terus menerus mengharapkan sesuatu dari saya. Saya ingin mengatakan, jika saya memiliki perasaan yang sama sepertimu. Tetapi, saya bukan orang yang bersedia mengumbar cinta saya secara terang-terangan. Apalagi terhadap orang lain. 

Saya senang, karena saya dapat memberitahumu tentang hal ini. Mungkin, saat ini kamu sedang menikmati hujan yang bernyanyi merdu. Saya tahu itu, karena saya cukup mengenalmu. Namun tidak sekenal ayah- ibumu mengenalmu. Dan, saya juga menyukai hujan. 

Akhirnya, sampai dibagian akhir. Aku tidak tahu, apakah surat ini adalah surat cinta, surat pengakuan dosa, ataukah surat kejujuran saya. Tetapi yang pasti, saya sudah tenang bisa memberitahumu. Dan, saat ini saya telah terbang bersama ribuan bidadari di surga. Saya harap, kamu selalu baik-baik saja di sana. Jaga kesehatanmu dan jangan lupa makan. Jika kamu sayang pada saya, jangan pernah merasa sedih ataupun terpuruk saat membaca surat ini. Kamu masih begitu muda, dan banyak orang-orang yang menyayangimu. Jadi, jangan pernah kecewakan mereka. 

                                           Melbourne, 26 Agustus 2012
                                                                       Regards  

                                                              Caroline


Author              : Rafidah Aprilia M. 
Image Source :  rare-vintage.com

Rabu, 03 September 2014

Warna yang Kesepian



            Sore itu, matahari tepat berwarna jingga keemasan. Matahari sudah menunjukkan senjanya. Aku menatap wanita bermata sendu yang tengah berdiri melihat lukisan-lukisan di galeri. Ya, tepatnya lukisan-lukisan bergaya klasik, impressionis, dan surealis yang mendominasi galeri lukisan ini. Setiap minggunya, galeri ini membawakan seratus lukisan yang dibuat oleh pelukis-pelukis terkenal di seluruh dunia. Entah kenapa, wanita bermata sendu itu sangat menyukai salah satu lukisan yang terpajang di pojok dinding. 

            Aku menghampiri wanita bermata sendu itu. “Maaf, sepertinya nyonya sangat menyukai lukisan itu.” Aku mencoba mengawali pembicaraan. 

            Wanita itu menoleh dan melayangkan pandangan ke arahku. Mata hazelnya yang berwarna cokelat kelabu itu bertatapan dengan bola mataku. Dia tersenyum. Namun, senyuman itu terasa hambar.

            “Jika aku boleh tahu, siapa nama anda?” tanyaku sembari mengulurkan tangan kepadanya.
            Dia menerima uluran tanganku. “Namaku Caroline Hand.” 

            “Oh, Nyonya Caroline. Senang bertemu dengan anda.” ucapku kepadanya.            “Anda?” tanyanya kemudian. 

            “Saya Stephanie Blood.” 

            Dia hanya tersenyum. Tetapi, tetap saja senyuman itu terasa hambar. Entah sudah keberapa kali aku mengunjungi galeri ini selama aku studi di Wina. Aku selalu melihat wanita bermata sendu itu berdiri di posisi pojok ruangan. Melihat lukisan abstrak impresionis dengan cat berwarna keabu-abuan itu. Ya, hanya abu-abu. Tidak ada warna lain. Aku juga tidak pernah tahu kenapa pelukisnya hanya mewarnai dengan warna peralihan antara hitam dengan putih. Oh, aku salah. Abu-abu bukan warna. Tapi itu value. Ya, yang benar value. Abu-abu disebut Tone

            “Saya permisi pergi. Kali lain kita bisa berbicara.” ujarnya lalu berlalu dari hadapanku. 

            Aku hanya memandangi punggungnya, sampai menghilang dibalik kerumunan orang. 

            Aku menghela napas. “Wanita yang aneh.” gumamku pelan. 

            Keesokan harinya, aku kembali mengunjungi galeri itu. Manik mataku langsung menjurus pada pojok dinding galeri. Aku masih menemukan sosok yang sama, yaitu wanita bermata sendu. Oh, tidak! Wanita itu memiliki nama. Kemarin, baru saja aku berkenalan dengannya. Namaya Nyonya Caroline. Dia tengah menikmati lukisan abstrak impresionis itu. Aku mencoba menghampirinya. Walaupun hatiku cukup berdebar. Aku hanya takut jika alih-alih pertanyaanku nanti justru membuatnya tersinggung. Rasa penasaranku kepada wanita itu belum habis. Dia adalah satu-satunya manusia yang mau melihat lukisan yang terpajang dipojok dinding itu berlama-lama. Sedangkan ribuan orang yang berkunjung, hanya melihat sesaat. Dan, memotret lukisan indah lainnya. 

            “Sore Nyonya Caroline.” sapaku pada wanita itu. 

            Dia hanya tersenyum sendu. Tak melakukan reaksi apa-apa. Aku mencoba bertanya padanya. 

            “Maaf, apa Nyonya sangat menyukai lukisan itu?” Aku bertanya dengan pertanyaan yang sempat aku lontarkan padanya. 

            “Sangat.” jawabnya ringan. 

            Aku mengangguk. 

            “Nyonya menyukai value dari lukisan itu?” 

            Dia hanya mengangguk. Sesaat kemudian, butir-butir air mata jatuh membasahi pipinya. Dia menunduk.
            “Nyonya, maaf kalau pertanyaanku menyinggungmu. Apa kau baik-baik saja?” 

            Dia menyapu air mata dengan sebelah tangannya. 

            “Saya baik-baik saja.” katanya dengan nada lirih.

            “Maaf, jika pertanyaanku membuatmu tersinggung.” 

            Dia menoleh ke arahku. Tatapannya sendu, seperti orang yang kesepian. Mata hazelnya menatapku lekat-lekat. 

            “Saya sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan anda. Hanya saja... baru anda yang menayakan hal ini pada saya.” katanya kemudian tersenyum. 

            Aku ikut tersenyum. 

            “Saya adalah orang yang menyukai karya seni. Apa pun itu, termasuk lukisan.” ucap Nyonya Caroline. Dia menarik napas pelan sebelum melanjutkan. Nada bicaranya sedikit parau. “Bagi saya, penampilan luar dari apa pun yang saya lihat tidak masalah. Saya tahu, orang-orang pasti bertanya-tanya. Kenapa hanya saya yang sangat mencintai lukisan ini. Hanya saya yang mampu menatap berlama-lama. Dan, hanya saya yang dalam sekejap mampu terpana. Lukisan ini, saya rasa seperti halnya bayi yang baru lahir. Dia tidak pernah salah, tetapi dijauhi. Dia tidak pernah melakukan dosa. Tetapi dia dianggap berdosa.” ucapnya panjang lebar. Aku masih tidak mengerti maksud ucapannya. Alih-alih justru membuat dahiku berkerut samar. Dia paham, dia mengerti maksud tatapanku. 

            “Orang lain sering kali cepat memberikan penilaian terhadap apa yang dilihatnya. Tanpa perlu tahu isi dalamnya. Tanpa tahu hakikat mengenal, memahami, dan mempelajari lebih dalam saat melihat sesuatu. Entah itu benda hidup, atau pun benda mati. Mereka hanya bisa pergi. Meninggalkan, merasa diri sendiri lebih sempurna dan mengalah lebih banyak. Merasa mereka lebih paham segalanya. Sehingga meninggalkan apa yang tidak mereka suka. Membenarkan apa yang mereka lakukan.” Dia berucap lagi, dan kali ini tatapannya semakin sendu. 

            “Saya hanya tidak mau berpikir, jika saya hanya menggunakan otak di dalam kepala saya. Yang sudah termainset dengan teori-teori yang sebenarnya belum pasti kebenarannya. Saya tidak mau berpikir hanya menggunakan otak, tanpa melibatkan tempurung otak yang melindunginya. Lukisan ini memang tidak sempurna. Tetapi, coba anda bayangkan. Melalui ketidaksempurnaannya— lukisan ini menjadi sangat-sangat sempurna. Bahkan, istimewa. Pelukisnya memang tidak perlu melukis hanya untuk orang lain melihat pengakuan dosa darinya. Tetapi, dia melukis melibatkan rasa. Rasalah yang bertindak.” Wanita itu berucap dengan suara menggebu-gebu. Suaranya berubah menjadi sebuah desisan. Dia menahan tangis, suaranya bergetar. Aku menyentuh bahunya, mengusap berkali-kali dengan penuh kelembutan. Aku tahu apa yang dirasakannya. Mungkin jika ada juri kritik seni paling hebat. Dialah orangnya. 

            “Maaf, maaf jika saya melakukan hal yang memalukan seperti ini. Berbicara omong kosong yang belum tentu orang lain mengerti.” katanya sembari mengusap pipinya yang halus dengan punggung tangannya.

            “Tidak, anda tidak perlu berkata seperti itu. Aku senang anda berkata begitu. Anda mampu membuat diriku sadar. Sadar akan banyak hal. Jujur, aku juga merasa apa pun yang saya pahami dan apa pun yang saya lakukan adalah benar. Saya juga sering menilai sesuatu dari apa yang saya lihat. Termasuk kepada lukisan ini. Justru, karena nyonya mau terbuka denganku. Aku menjadi mengerti. Terimakasih Nyonya Caroline.” ujarku sambil mengulum senyum. 

            Aku tidak pernah menyangka, Nyonya Caroline memelukku erat. Aku juga melingkarkan kedua tangan di lehernya. Kami berpelukan erat. Aku tersenyum bahagia, karena satu rahasia dalam hidup ini telah memberitahuku. Terkadang, kita merasa benar dengan apa yang telah kita lakukan. Tanpa sadar, sesuatu yang kita yakini benar itu menyakiti yang lain. Terkadang juga, kita merasa lebih kecewa dari orang lain. Tanpa pernah ingin tahu betapa besar kecewanya orang lain terhadap kita. Banyak orang yang mengkritik hasil sebuah karya secara tidak sopan. Tanpa pernah tahu seberapa besar imajinasi, waktu, dan keringat sang pembuat karya menciptakan mahakarya tersebut. Mereka hanya menilai hasil akhir, bukan sebuah proses untuk memperoleh kesempurnaan. Karena tidak ada karya yang melebihi sempurnanya hasil cipta Tuhan sang pencipta yang sesungguhnya. 

Author            : Rafidah Aprilia Mahmudah
Image Source : kaskus.co.id
For readers who always read my short story.