Selasa, 13 Januari 2015

Nyanyian Hujan






Hujan, seperti malam-malam yang mendung. Namun hujan, mampu menciptakan melodi yang indah. Memecah kesunyian, kala malam sudah bisu. Aku, selalu suka hujan. Karena hujan, memanggil mereka yang kesepian. Memeluk mereka dengan butiran-butiran air yang membesar, melebar, meluas menjadi selimut tidur dikala dingin. Tetapi tidak untukku dan sebagian orang. Hujan, memberikan sepatah demi sepatah kata untukku. Hujan, menemaniku saat sendirian. Menari-nari di dalam benakku, menciptakan beribu bahasa. 

            Aku, pergi bersama hujan. Menembus kristal malam, sampai akhirnya terbawa cinta. Cinta kepada hujan, cinta kepada dia yang memunculkan pelangi. Aku suka pelangi, suka warnanya yang indah. Aku suka segala hal yang indah. Yang mampu menuntunku kepada bahasa rasa. Rasa, aku mencintai rasa yang membuatku mampu memahami kesaksian sebuah benda. Benda mati, ataupun yang hidup. Hujan, tidakkah kau tahu rasa cintaku padamu? Terkadang, aku egois. Tak membiarkanmu menyentuh tubuhku. Meskipun kau menemaniku dalam dinginnya malam. Maafkan aku hujan, aku tidak bermaksud menjauh darimu. Karena kau segalanya bagiku. Kau, menutupi sesak yang menghambur menjadi tangisku. Hingga mereka tidak pernah tau betapa aku terluka atau mereka tidak tahu betapa aku bahagia. 

            Ketika hujan menyentuh permukaan tanah, daun, ataupun lainnya. Tik...tik...tik... kau berubah menjadi fatamorgana. Menciptakan irama yang membuncah hingga terdengar ke bumi. Hujan... kaulah nyanyian terindah yang dinyanyikan Tuhan. Hujan, kaulah musik yang langsung kudengar dari sang pencipta. Suaramu, seperti melodi yang memecah bebatuan yang membisu ditengah jalan. Hujan, menemanimu yang kesepian. Menemanimu dalam sebuah irama cinta. Menemanimu dalam kebisuan malam. Karena hujan, aku miliki langit yang hitam temaram. Yang pada akhirnya, menciptakan beraneka macam warna tuk bernostalgia. 

pict by IM free

@RafidahAprilia



Tangan Yang Terulur



“Kau tidak membutuhkan tangan saya yang terulur, kau juga tidak butuh pendapat siapa pun tentang apa yang menjadi keahlianmu. Kau berhak menluapkan amarahmu pada saya, tapi tidak kepada rasa hormat saya padamu. Kau berhak tidak memberi maaf pada saya, tetapi bukan berarti kau tidak memberikan kesempatan pada saya, untuk sekadar mengulurkan tangan.”

            Kalimat di atas setidaknya membuat saya belajar untuk tidak menjadi manusia yang benar-benar mati akan kata maaf dan menghargai kebaikan yang dilakukan orang lain. Hari itu, saya benar-benar menyesal karena telah mengulurkan tangan saya kepada orang yang tidak bisa menghargai perlakuan baik dari saya. Seandainya tangan saya yang terbiasa untuk bersalaman terhenti, mungkin saya tidak akan pernah menyesal. Jujur, hati saya terdalam merasa tertusuk saat dia menganggap saya sebagai seorang yang meminta-minta. Meminta bukan dalam hal materi, tetapi rasa hormat saya kepadanya yang lebih tua dari usia saya diacuhkan begitu saja. 

            Saya sadar, saya telah melakukan kesalahan karena keterlambatan saya memasuki kelas. Saya tahu hal itu salah, karenanya saya mengulurkan tangan. Tidak hanya pada saat saya melakukan kesalahan, saya pun akan melakukan hal yang sama. Terkadang, ketidaksukaan kita terhadap sesuatu seperti halnya keterlambatan, sering kita lakukan.  Jadi, jangan pernah berharap orang lain mengerti apa yang kita inginkan. Sedangkan diri sendiri pun masih sering melakukannya.

Dia mungkin sudah tidak menganggap saya lagi sebagai seorang manusia yang berhak mengikuti bimbingannya. Namun, dia masih berkeinginan untuk meruntuhkan harga diri saya di depan semua yang ada. Saya terdiam, bukan tanpa makna. Namun, hati dan bibir saya terus berucap. Saya mencoba melindungi hati saya agar tidak hancur dan terluka dengan cara membentengi hati saya dengan doa.  

            Saya, dan kepala-kepala lainnya tidak pernah diingat. Bahkan menatap saja tidak. Jika tidak diingat berarti tidak pernah ada. Terkadang ada sesuatu yang meluap dalam perasaan kita, dan tidak bisa kita bendung lagi. Ada sebagian dari mereka meluapkan perasaannya dengan tangisnya, karena dianggap tidak  pernah ada. Sedangkan saya, dan sebagian dari mereka hanya mampu berbesar hati. Melapangkan hati masing-masing akan lebih baik, dari pada meluapkan tangis yang tak sepenuhnya tangis itu atas kesalahan kita. 

            Ada beberapa kepala yang merasa tenang. Karena ia tidak pernah merasakan kegelisahan apa pun. Mereka hanya mampu melindungi diri sendiri. Tidak peduli dengan kegelisahan apa pun. Yang terpenting, mereka mampu meraih mimpi mereka. Saya tahu dan semua tahu itu, jika setiap manusia berhak memiliki mimpi dan cita-cita nya dan mencapainya dengan caranya sendiri. Namun, sebuah mimpi dan cita-cita tidak selayaknya egois terhadap mimpi yang lain. Biarkanlah mimpi dan cita-cita itu berkembang serta biarkan rasa cinta muncul di antara keduanya. Sekarang, yang saya butuhkan dan yang lain harapkan hanya menerima.

Rawamangun, 15 Oktober 2014

Senin, 12 Januari 2015

Pengaduanku



        Aku tidak tahu bagaimana harus mengawali kisah ini. Apakah aku harus memberitahu akhirnya? Ataukah aku harus menyampaikan epilog dari kisah ini? Jujur, aku sangat iri dengan mereka. Ya, mereka yang memiliki cukup kasih sayang terhadap saudaranya. Mereka yang saling berbincang, mencurahkan cinta disetiap pertemuan. Saling tersenyum saat kali pertama memandang. Ketika pagi mulai menyapa orang-orang yang beraktivitas. Saat sajak-sajak rindu kepada pulau dimana tempatmu kembali pulang. Menjemput rasa rindu yang telah lama berkarat kepada kesayanganmu. Menyampaikan cerita-cerita yang entah indah ataukah luka kepada kesayanganmu. 

Kuharap, kau tak pernah lupa jika mimpi-mimpi itu tak akan pernah berhenti untuk mengerti keinginanmu. Kuharap, kau juga tak pernah lupa jika semua yang tak terhenti itu tak terlepas dari doa orang-orang yang mencintaimu. Orang-orang yang tidak pernah berada disisimu, namun sinar kasih dan cintanya mampu membuatmu menjadi seperti apa mimpimu. Aku ingat, saat membaca buku Paulo Coelho, Jika kita sungguh-sungguh menginginkan sesuatu maka semesta akan berkonspirasi mewujudkannya. Hidup terlalu singkat jika hanya dilewati dengan penyesalan. Karena hidup terlalu indah jika disia-siakan. 

Hari ini, tepatnya aku menngungkapkan pengaduanku. Mungkin lebih tepatnya, isi hatiku kepada kesayanganku (ibu). Ketika itu, aku sakit. Bahkan tubuhku tidak mampu lagi bekerja sama dengan baik terhadap pikiranku. Saat-saat seperti ini, ingin rasanya aku memeluk bahkan mencium dirinya. Aku merasa jika pengaduanku begitu melemahkanku. Melemahkan, bukan berarti aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Tetapi, aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir atas rasa sakitku. Saat aku meneleponnya, ku dengar nada suaranya yang begitu takut, khawatir jika darah dagingnya ini terluka. Aku merasakan itu dari dasar hatiku. Ku kulum tangis yang nyaris pecah, hingga tak mampu ku tahan lagi butiran-butiran air mata ini untuk jatuh menyebar membasahi pipiku. 

Sekali, lagi kutahan bibirku untuk berkata kalau aku sangat sakit. Ku putuskan untuk berkata “Semua baik-baik saja bu,” 

Namun, perasaan seorang ibu berbeda. Itulah kenapa ia tercipta sebagai makhluk yang sangat pandai membaca hati anaknya. Ku akhiri sekali lagi percakapan itu dengan mengatakan “Aku baik-baik saja bu.”  Hingga ia berkata “Baik nak, semoga cepat sembuh. Minum susu dan makan yang teratur. Jangan lupa istirahat, ibu selalu mendoakanmu.” sahutnya dengan nada khawatir.

“Baik bu…. Terimakasih.” ucapku, tanpa sadar air mata meluncur kembali di kedua pipiku.   Ku tutup sambungan ponselku dengannya. Sepertinya, aku tak perlu mengadu lagi kepadanya tentang rasa sakit ini dan seharusnya aku percaya ketika ibu mendoakanku, maka doa-doanya pun akan selalu menjaga dan melindungiku. Bukankah aku terlahir karena doa-doa darinya? 

Pagi pun menjelma cepat menjadi malam. Entah sudah kali keberapa ibu meneleponku. Pertama,  saat sore hari ia meneleponku menanyakan keadaanku apakah sudah membaik atau belum? Kujawab dengan iya yang sedikit dusta. Kedua, saat malam hari. Saat telepon malam hari itulah ia berkata ingin menemuiku di rumah kostku. Aku pun terkejut mendengarnya. Kularang ia untuk berkunjung, hal itu bukan semata-mata aku tak menyukai kehadirannya. Melainkan aku tak ingin mengganggu ketenangannya, membuatnya terlalu banyak berpikir tentang diriku. Namun sayang, ia mengatakan tetap akan datang menemuiku untuk memberikan obat yang baru ia beli di klinik. 

Malam harinya, sekitar pukul 21.00 malam, ibu mengetuk pintu kamar kostku. Ia datang bersama ayahku. Kulihat ia membawakan bungkusan obat dan bingkisan roti yang katanya baru saja dibelinya ditoko roti berinisial kincir angin itu. Aku langsung memeluk dirinya, kucium pipinya yang wangi parfumnya sudah sangat biasa kucium. Dalam hati aku berkata, “Ibu, aku juga senantiasa mendoakanmu.” Semoga doa-doaku untuk ibu terjabah, disetiap sujudku. Agar ia selalu terjaga dibawah lindungan-Nya dan menjaga agar air matanya tidak jatuh karena begitu mengkhawatirkanku.