Aku
tidak tahu bagaimana harus mengawali kisah ini. Apakah aku harus memberitahu
akhirnya? Ataukah aku harus menyampaikan epilog dari kisah ini? Jujur, aku
sangat iri dengan mereka. Ya, mereka yang memiliki cukup kasih sayang terhadap
saudaranya. Mereka yang saling berbincang, mencurahkan cinta disetiap
pertemuan. Saling tersenyum saat kali pertama memandang. Ketika pagi mulai
menyapa orang-orang yang beraktivitas. Saat sajak-sajak rindu kepada pulau
dimana tempatmu kembali pulang. Menjemput rasa rindu yang telah lama berkarat kepada
kesayanganmu. Menyampaikan cerita-cerita yang entah indah ataukah luka kepada
kesayanganmu.
Kuharap, kau tak pernah lupa jika mimpi-mimpi itu
tak akan pernah berhenti untuk mengerti keinginanmu. Kuharap, kau juga tak
pernah lupa jika semua yang tak terhenti itu tak terlepas dari doa orang-orang
yang mencintaimu. Orang-orang yang tidak pernah berada disisimu, namun sinar kasih
dan cintanya mampu membuatmu menjadi seperti apa mimpimu. Aku ingat, saat
membaca buku Paulo Coelho, Jika kita sungguh-sungguh menginginkan sesuatu maka
semesta akan berkonspirasi mewujudkannya. Hidup terlalu singkat jika hanya
dilewati dengan penyesalan. Karena hidup terlalu indah jika disia-siakan.
Hari ini, tepatnya aku menngungkapkan pengaduanku.
Mungkin lebih tepatnya, isi hatiku kepada kesayanganku (ibu). Ketika itu, aku
sakit. Bahkan tubuhku tidak mampu lagi bekerja sama dengan baik terhadap
pikiranku. Saat-saat seperti ini, ingin rasanya aku memeluk bahkan mencium
dirinya. Aku merasa jika pengaduanku begitu melemahkanku. Melemahkan, bukan
berarti aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Tetapi, aku tidak ingin
membuatnya merasa khawatir atas rasa sakitku. Saat aku meneleponnya, ku dengar
nada suaranya yang begitu takut, khawatir jika darah dagingnya ini terluka. Aku
merasakan itu dari dasar hatiku. Ku kulum tangis yang nyaris pecah, hingga tak
mampu ku tahan lagi butiran-butiran air mata ini untuk jatuh menyebar membasahi
pipiku.
Sekali, lagi kutahan bibirku untuk berkata kalau aku
sangat sakit. Ku putuskan untuk berkata “Semua baik-baik saja bu,”
Namun, perasaan seorang ibu berbeda. Itulah kenapa
ia tercipta sebagai makhluk yang sangat pandai membaca hati anaknya. Ku akhiri
sekali lagi percakapan itu dengan mengatakan “Aku baik-baik saja bu.” Hingga ia berkata “Baik nak, semoga cepat
sembuh. Minum susu dan makan yang teratur. Jangan lupa istirahat, ibu selalu
mendoakanmu.” sahutnya dengan nada khawatir.
“Baik bu…. Terimakasih.” ucapku, tanpa sadar air
mata meluncur kembali di kedua pipiku. Ku tutup sambungan ponselku dengannya.
Sepertinya, aku tak perlu mengadu lagi kepadanya tentang rasa sakit ini dan
seharusnya aku percaya ketika ibu mendoakanku, maka doa-doanya pun akan selalu
menjaga dan melindungiku. Bukankah aku terlahir karena doa-doa darinya?
Pagi pun menjelma cepat menjadi malam. Entah sudah
kali keberapa ibu meneleponku. Pertama,
saat sore hari ia meneleponku menanyakan keadaanku apakah sudah membaik
atau belum? Kujawab dengan iya yang sedikit dusta. Kedua, saat malam hari. Saat
telepon malam hari itulah ia berkata ingin menemuiku di rumah kostku. Aku pun
terkejut mendengarnya. Kularang ia untuk berkunjung, hal itu bukan semata-mata
aku tak menyukai kehadirannya. Melainkan aku tak ingin mengganggu
ketenangannya, membuatnya terlalu banyak berpikir tentang diriku. Namun sayang,
ia mengatakan tetap akan datang menemuiku untuk memberikan obat yang baru ia
beli di klinik.
Malam harinya, sekitar pukul 21.00 malam, ibu
mengetuk pintu kamar kostku. Ia datang bersama ayahku. Kulihat ia membawakan
bungkusan obat dan bingkisan roti yang katanya baru saja dibelinya ditoko roti
berinisial kincir angin itu. Aku langsung memeluk dirinya, kucium pipinya yang wangi
parfumnya sudah sangat biasa kucium. Dalam hati aku berkata, “Ibu, aku juga
senantiasa mendoakanmu.” Semoga doa-doaku untuk ibu terjabah, disetiap sujudku.
Agar ia selalu terjaga dibawah lindungan-Nya dan menjaga agar air matanya tidak
jatuh karena begitu mengkhawatirkanku.