Sakit.
Begitulah saat ini keadaan diriku. Sampai kapan pun kau tidak akan pernah tahu
jika aku sakit. Kata orang, terlalu banyak pikiran bisa membuat kita sakit.
Begitu banyak kekhawatiran juga akan membuat sakit. Kau mengirimkan secarik
kertas. Berisi barisan kata yang tidak hanya mampu menampar wajahku. Tetapi
juga hatiku. Bagiku—Sekarang, kita saling menganggap buruk satu sama lain. Kau
merasa mengalah sendiri, merasa tersakiti sendiri. Tetapi pada kenyataannya, yang
kita lakukan hanyalah menjauhkan diri dari keterbukaan. Menjauhkan diri dari
rasa saling peduli. Kau bilang kita saling mencintai—Namun, kau tidak mampu
menjaga kepercayaan yang aku titipkan padamu.
Kita,
mulai melupakan kebaikan satu sama lain. Memudarkan rasa saling peduli dan
melengkapi. Itu yang aku tahu saat ini. Aku mengulum tangis di dalam hati. Aku
salah, aku merasa hubungan kita adalah paling sempurna. Hingga ikatan kasih
sayang yang kita bangun lambat laun menjadi hambar. Hambar. Seperti rasa black coffee kesukaanmu. Pahit. Sekuat
apa pun kita menghilangkan rasa pahitnya. Kopi tidak akan kehilangan sisi
pahit. Dia tetap memiliki sisi buruknya. Akhirnya, aku menyadari, ada sesuatu bagian
yang tidak bisa aku dapatkan selama aku berjalan bersamamu. Katamu, aku akan
selalu ada di sisimu. Menanyakan keadaan satu sama lain. Apakah kau baik-baik
saja hari ini? Atau Kau tidak sedang ada masalah kan?
Ah,
itu hanya omong kosong belaka. Di
akhir, kau justru memintaku untuk selalu memahamimu. Kau tidak pernah tahu isi
hati manusia. Jadi, jangan sesekali menebaknya. Jika itu akan membuat orang
lain terluka.
Aku
terbangun ke alam nyata, setelah ponsel yang kuletakkan di atas meja bergetar.
To : Renna
From : Rey
Bisa kita bertemu?Aku
tunggu di kafe biasa.
Aku
membenamkan wajah di antara telapak tangan. Sesak. Itu yang aku rasakan setelah
membaca pesan darimu. Aku berpikir berkali-kali, apakah aku harus datang atau
tidak. Jika aku tidak datang, aku tidak akan pernah tahu keadaanmu. Walaupun,
di sini aku sedang sakit. Aku tidak peduli masalahku, aku tetap peduli padamu. Meskipun
aku tahu, keputusanku menemuimu akan menambah sakitku. Detik berikutnya, Aku
memasukkan ponsel ke dalam saku. Merapikan meja kerjaku. Lalu, menyambar blazer hitam yang kusampirkan di kepala
meja. Aku bergegas
melangkah pergi, jauh meninggalkan ruang kerjaku.
***
Kakiku
melangkah, memasuki kafe. Suara rangkaian lonceng kafe bernyanyi merdu, saat
bersentuhan dengan kepalaku. Tidak sakit. Loncengnya terbuat dari kain flanel, yang diberi hiasan lonceng emas
berbentuk bulat di dalamnya. Sehingga mereka mampu bernyanyi. Namun tidak
melukai.
Aku
mengedarkan pandangan ke setiap sudut kafe. Berusaha mencari sosokmu. Akhirnya,
kulihat kau sedang duduk di sebuah kursi dekat jendela. Kau mengambil posisi di
sudut ruangan. Menyesap black coffee
yang dipesannya. Itu kebiasaanmu. Dan, aku tahu itu.
“Sudah
lama menunggu?” Aku berucap setelah sampai di mejanya. Dia mengangkat wajahnya.
“Ah,
tidak. Silahkan duduk.” katanya sambil melontarkan senyuman padaku. Aku ikut
tersenyum.
Tetapi hambar. Dia menarik kursinya maju hingga tubuhnya sedikit
mendekati tepi meja. Aroma kopi dari napasnya tercium jelas di hidungku.
“Ada
apa kau memintaku ke sini Rey?” tanyaku padanya. Sebenarnya, aku tahu apa yang
dia akan katakan. Aku tahu itu. Namun, aku ingin dia mengatakannya sendiri. Kurasa,
aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Aku takut jika dia tahu yang sebenarnya.
Aku takut, takut jika dia membuat jarak untukku.
***
Aku
menyusuri jalanan di sekitar sungai Seine dengan langkah gontai. Kemudian
berhenti sejenak. Kedua tanganku terjulur ke depan, mencengkeram pagar besi jembatan.
Hingga buku-buku jariku memutih. Aku
menghamburkan tangis di sungai itu. Sesak. Rasanya oksigen yang masuk ke dadaku
perlahan-lahan mulai habis. Aku tidak percaya akan ucapannya tadi. Saat kami
bertemu di kafe.
“Aku ingin memintamu
datang ke acara pernikahanku dengan Alice. Kau merestui hubungan kami kan?” katanya
dengan nada bangga. Lelaki itu sangat senang sekali. Wajahnya berbinar-binar
saat mengucapkannya di depanku. Tanpa pernah tahu perasaanku padanya. Aku hanya
menunduk, mencoba menyembunyikan kesedihanku. Menyembunyikan takdir buruk
untukku. Takdir yang mengharuskan aku untuk merelakan dia untuknya. Seberapa
keras aku mencoba untuk meraih dirinya. Kenyataan akan tetap sama. Jika pun aku
mampu meraihnya, dia tidak akan tinggal di hatiku selamanya. Karena di hatinya
ada Alice. Hanya Alice.
Aku menarik napas
panjang, secepat mungkin mengadahkan kepala. Menatap manik matanya yang
berwarna biru. Aku berusaha mengatur napas. Agar saat berbicara padanya, aku
dapat mengatur nada suaraku.
“Ya, tentunya aku
merestui itu. Alice sahabatku, dan kau juga sahabat yang baik untukku.”
Aku mencoba tersenyum
kepadanya. Menghilangkan jejak kesedihan yang menyelimutiku.
“Terimakasih Renna. Tapi…
kau belum menjawab satu pertanyaanku. Kau akan datang kan ke acara bahagia
kami?”
Aku mennepuk keningku.
Mencari alasan agar terlihat lupa. Aku sengaja melupakan pertanyaan yang satu
itu, karena aku tidak cukup kuat untuk mengatakannya.
“Nanti akan aku
usahakan untuk menghadiri hari bahagiamu.” kataku lirih. Tiba-tiba senyum di
wajah lelaki itu memudar. Aku tidak tahu alasannya.
“Kau harus datang Ren.
Alice pasti akan sangat senang jika kau mau hadir di hari bahagia kami.” kata
Rey, dengan nada memelas.
Aku memutar otakku
cepat. Mencoba menemukan alasan yang tepat.
“Maaf, aku tidak bisa
memastikan itu. Karena …” suaraku menggantung di udara. Ya Tuhan… aku harus
bisa mengontrol emosiku. Aku tidak mau dia tahu tentang perasaanku. “Karena aku
akan berangkat ke Austria besok.” Akhirnya, aku dapat mengucapkannya. Ya,
untungnya aku ingat akan tawaran dari bosku ke Austria.
Rey tertegun, Lelaki
itu mengerutkan keningnya samar ke arahku.
“Tapi, pernikahanku
dengan Alice kan minggu depan. Bukannya besok. Ayolah, aku mohon.” ujarnya
memelas untuk kali kedua. Dia menautkan jari-jarinya. Meletakkannya tepat di
depan dada. Memohon padaku penuh keyakinan, jika aku harus hadir di hari
bahagianya.
Aku paling tidak suka
melihat lelaki itu memohon padaku. Aku tidak suka itu.
“Rey, kau jangan
memohon seperti itu kepadaku. Aku tidak sehari dua hari disana. Tetapi, bisa
sebulan atau bahkan satu tahun.” ujarku dengan perasaan bersalah. “Aku janji,
akan datang ke rumah kalian saat kepulanganku dari Austria.” kataku tulus
sembari melepaskan jari-jari tangan yang terpaut itu.
Aku melirik jam tangan
yang melingkar di pergelangan tanganku. “Maaf Rey, sepertinya aku harus kembali
ke kantor. Kali lain, kita berbicara lagi. Tuhan memberkati pernikahan kalian.”
Aku tersenyum kepadanya. Kemudian beringsut pergi meninggalkan kafe itu. Kubekap
mulutku dengan sebelah tangan. Agar tangisku tidak kelihatan orang-orang yang
berada di kafe. Aku tahu, Rey pasti sedang memandangi kepergianku.
***
Hari
ini adalah hari keberangkatanku ke Austria. Aku meminta cuti selama seminggu lagi
dengan bosku Nyonya Jasmine. Sehingga aku memiliki waktu dua minggu di sana. Dia
orang yang sangat baik kepadaku. Aku sangat beruntung, karena mendapatkan tiket
ke Austria untuk menghadiri acara Music
Paradise in Wina. Aku juga akan memainkan salah satu alat musik disana. Awalnya, aku menolak, tetapi aku mencoba
berbicara lagi dengan Nyonya Jasmine. Untungnya, Nyonya Jasmine belum
menawarkan satu tiket itu kepada karyawan yang lainnya. Sehingga aku
berkesempatan memiliki tiket itu. Nyonya Jasmine tahu, jika aku menyukai musik.
Dan pandai bermain biola dan piano.
Penerbangan
dari Paris ke Austria akan berlangsung kurang dari tiga menit lagi. Pesawat
sudah tiba lima menit sebelumnya. Aku menaiki tangga pesawat. Mengangkat
koperku perlahan. Di dalamnya kuselipkan biola. Sesak. Itu yang masih aku
rasakan. Semalaman aku tidak tidur karena memikirkan keputusanku untuk
meninggalkan Paris selama dua minggu. Semoga, keputusanku untuk pergi ke
Austria dapat merelakan Rey untuk Alice. Ah, sudahlah. Seharusnya aku bahagia
dengan kebahagiaan mereka.
Detik
berikutnya…
Pesawat
yang aku tumpangi terbang bebas di udara. Mengepakkan sayap bersama-sama dengan
ribuan burung-burung. Menembus kerumunan awan yang biru. Aku melirik jendela. Sesekali
menghembuskan napas. Terlintas dipikiranku untuk terbang jauh seperti pesawat
atau burung-burung. Berteriak, menjerit, atau bahkan bernyanyi merdu. Melepaskan
kejenuhan saat berada di daratan.
Satu
jam kemudian…
Aku
merasakan hal aneh. Tubuhku terasa ringan. Aku melihat jiwaku yang berlumuran darah.
Hancur bersama kepingan badan pesawat. Tidak hanya aku, di sana ada orang-orang
yang tergeletak tak berdaya. Banyak petugas-petugas rumah sakit yang membawa
jasad mereka yang kurang beruntung untuk hidup lebih lama. Suara sirine mobil
ambulans yang berteriak kencang
dan polisi yang memasang police line
di tempat kejadian membuat aku semakin penasaran. Aku berteriak dan mencoba
berkata pada salah satu petugas yang mengangkat tubuhku dan memasukkannya ke
dalam kantung panjang berwarna kuning. Tetapi sayang, usahaku sia-sia untuk melakukan
itu. Mereka semua tak mendengar. Tak menggubris apa yang aku lakukan. Aku
mencoba meraih bahu petugas itu, tetapi sia-sia. Tanganku justru menembus tubuhnya. Aku
benar-benar tidak dapat
menyentuhnya.
Aku
menangis, meratapi nasibku. Aku sadar, jika aku sudah tidak sama lagi dengan
mereka. Aku tertunduk, berusaha menerima takdir yang ditetapkan Tuhan. Meskipun
begitu, aku merasa bahagia. Bahagia bagiku sederhana, melihat seseorang yang
dicintai tersenyum dan merelakan mereka pergi. Aku belajar, melepaskan
seseorang itu juga cinta. Bahkan cinta yang sangat besar. Aku tetap harus
percaya, sekalipun aku sulit untuk mempercayainya. Jika aku sudah tidak dapat
tinggal di bumi lagi. Melihat senyum yang
mengembang dibibirmu Rey...
***
Dulu,
saat kami masih duduk di bangku SMA. Saat aku dan Rey berusia 17 tahun. Aku
menciptakan satu lagu untuk Rey. Aku adalah gadis yang pandai bermain dua alat
musik yaitu biola dan piano. Sama dengan Rey. Itulah yang membuat Rey mudah
untuk beradaptasi denganku. Karena kami memiliki sesuatu hal yang sama, yaitu
menyukai musik. Hanya satu perbedaan kami. Rey tidak suka menggambar. Sedangkan
aku sangat suka. Hampir setiap pulang sekolah, aku meluangkan waktu bersama Rey
untuk memainkan alat musik di belakang taman sekolah. Setelahnya, kami akan
menyambangi kafe terdekat. Memesan black
coffee kesukaan Rey dan Espresso
minuman kesukaanku. Kami memiliki kecintaan yang sama terhadap kopi. Walaupun
dalam versi yang berbeda. Aku mengenal Rey saat kali pertama dia masuk ke
sekolahku. Dia anak pindahan dari sekolah ternama di Jerman. Ayahnya bertugas
di Paris sebagai seorang arsitek, sehingga memaksa Rey untuk mengikuti posisi
dimana ayahnya berada. Ibunya sudah meninggal sejak melahirkannya. Dia tidak
memiliki saudara, karena Rey anak tunggal. Berbeda lagi denganku, Namaku Renna Jean.
Aku tidak memiliki siapa-siapa. Kedua orangtua-ku sudah meninggal. Ibuku
meninggalkanku saat aku berusia 5 tahun. Sedangkan ayah, beliau meninggalkanku saat aku
berusia 12 tahun. Teman hidupku satu-satunya hanya Bibi Claude saat itu. Dia
wanita berusia 40 tahun, tetanggaku sekaligus pemilik dari toko roti dan rumah
sewa tempat tinggalku. Bibi Claude memiliki dua orang anak bernama Sherenaa dan
Nathan. Sherenaa telah menikah dan Nathan seorang mahasiswa di Paris.
“Rey,
kemarin aku baru menciptakan lagu untuk kita.” kataku sambil melirik ke arah
Rey dan mengulurkan secarik kertas padanya. Aku tersenyum bangga. Dia ikut tersenyum.
“Coba
kau nyanyikan lirik lagu ini, aku ingin dengar!” katanya seraya menatap tulisan
di atas kertas itu.
Dengan
sigap, aku mengambil biola yang terletak di sampingku, yang aku sandarkan di
bangku taman. Aku mulai menggesek biola, memainkan intro dari lagu ciptaanku
sendiri.
Kau tahu, semakin kita
dekat
Aku semakin bahagia
Kita selalu bersama,
dalam suka maupun duka
Aku tidak dapat
mengenal perasaan ini.
Hingga perasaan ini
terus tumbuh dan bekerja
Aku mencoba untuk
memperbaiki pikiranmu sekali lagi
Melalui lagu yang
kucipta. Aku selalu ingin melihatmu bahagia.
Bahagia… dengan cara
sederhanaku.
Melalui karya yang
kucipta.
Kumohon kepadamu…
Jangan pernah berhenti
untuk selalu disisiku.
Untuk selalu berjalan
bersamaku.
Untuk selalu tersenyum
padaku.
Meskipun aku tahu, kau
selalu melakukan itu.
Reff : Aku harap, kita dapat mengerti hati satu sama lain.
Aku harap, kita dapat
melihat air mata satu sama lain.
Aku harap, kita dapat
masuk ke dalam jiwa satu sama lain.
Kau dan aku…adalah satu
dalam jiwa.
Bagiku, cinta hanya butiran
air mata.
Hanya seperti itu.
Namun, saat kau
bersamaku. Saat kau mau peduli denganku.
Semuanya berubah, cinta
menjadi mutiara yang bersinar diantara butiran pasir malam.
Saat kita berpisah
nanti, bisakah kau memelukku sekali saja?
Bisakah kau melihat ke
arahku untuk sekali saja?
Bisakah kau mengucapkan
salam terakhir kepadaku?
Ku harap, jangan pernah
melupakan kenangan bahagia kita.
Karena lagu ini hanya
untuk kita.
Aku
selesai menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Dan di akhir lagu, biolaku ikut
berhenti bersenandung. Rey memberikan applause
kepadaku.
“Kau
hebat.” katanya, lalu tersenyum. Aku ikut tersenyum riang. Aku suka senyum Rey.
Ya, dengan melihatnya tersenyum aku merasa bahagia. Aku tidak tahu, kenapa
merasa nyaman saat disisinya. Entahlah, aku tidak dapat memahami perasaanku
sendiri.
Delapan
tahun kemudian…
Aku
mendengar kabar Rey akan segera menikah dengan seorang gadis cantik saat kami
sekolah SMA dulu. Dia adalah sahabatku saat di SMA, bahkan sebelum aku mengenal
Rey. Namanya Alicia Paulle. Aku biasa memanggilnya Alice. Gadis berambut pirang
gelombang dan bermata hazel itu sangat cantik. Kulitnya putih mulus tanpa
bintik. Dia adalah gadis keturunan Hongaria dan Prancis. Oh! sangat berbeda
denganku. Aku gadis keturunan Indonesia dan Prancis. Rambutku hitam dan mataku
khas Indonesia. Semua yang ada pada diriku mengikuti apa yang ada di wajah
ibuku. Hanya saja, tinggi badanku mengikuti ayah yang keturunan Prancis.
Aku
tidak tahu, sejak kapan Rey dan Alice menjalin hubungan sebagai sepasang
kekasih. Saat kami mengadakan pertemuan satu angkatan dengan teman-teman masa
SMA. Aku tidak datang, karena jadwal kerjaku yang padat. Pagi harinya, aku
harus bekerja di perusahaan fashion
design. Malam harinya, aku harus menjadi penyiar radio di salah satu stasiun
popular di Paris. Stasiun radio itu milik Monsieur
Vinci— Tuan Vinci. Lelaki berusia 47 tahun itu adalah suami dari Nyonya
Jasmine. Sejak Bibi Claude meninggal, aku harus bekerja keras mencari
pendapatan sendiri. Karena toko roti dan rumah sewanya telah dikelola oleh kedua
anaknya. Aku terbiasa bekerja keras sejak kedua orangtuaku meninggal dunia.
Aku
mengetahui hubungan cinta Rey dengan Alice dari seorang teman. Namanya Grace.
Gadis cantik berambut pendek itu bertemu denganku saat dia mengunjungi kantor
dimana aku bekerja. Dia adalah klien
tetap kami. Aku bekerja di perusahaan fashion
design milik Nyonya Jasmine. Grace menceritakan, jika Alice dan Rey telah
dijodohkan sejak mereka kecil. Ayahnya Rey dan Ayahnya Alice sudah bersahabat
sejak lama. Saat mendengar cerita itu, aku sungguh sakit. Dadaku sesak tak
karuan. Kenapa aku terlalu naïf untuk menyadari hal itu? Aku terlalu bodoh dengan
mudah memberikan hatiku pada Rey. Meluangkan waktuku bersama lelaki itu. Menunggu
lelaki itu hingga akhirnya justru membuatku hancur. Mungkin, aku terlalu salah
mengartikan hubunganku dengan Rey. Ini semua salahku. Aku sadar, meskipun aku
mencintai Rey, pastilah ada sesuatu hal yang tidak aku mengerti tentangnya.
*author by Rafidah Aprilia
*Image by etsy.com and aliexpress
*Tulisan yang diikutsertakan dalam grup menulis