Rabu, 01 Juli 2015

Hal Paling Menyedihkan dalam Hidup ini, Ketika Hidup Selalu Meminta dan Menyalahkan Takdir



Ada beberapa pertanyaan yang mengelitik hati dan pikiran saya, ketika kenyataan hidup tidak sama seperti yang kau bayangkan dan impikan. Apa yang akan kau lakukan? Ketika kegagalan selalu menghampirimu, apa yang kau lakukan? Menyalahkan takdir? Atau… Kau terus meminta, mengadahkan tanganmu kepada seseorang yang kau anggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan menimpamu. Ini yang kebanyakan saya temui pada manusia-manusia dalam kehidupan. Bahkan tak jarang menghampiri manusia terdekat saya. Hingga mereka menjelma menjadi wujud manusia, yang tak berhati manusia. Melainkan berhati setan, rakus terhadap segalanya. 

            Mungkin kau tahu, kegagalan dan keberhasilan bukanlah hal yang pandai aku bicarakan. Bahkan untuk diriku sendiri. Ini kejadian yang selalu menghampiri saya, bahkan sering membuat mimpi buruk dalam setiap napas kala Tuhan setiap saat memberikan oksigen. Bahkan saat saya tertidur. Meminta, bukanlah suatu hal yang salah dan tak pernah ada yang menyalahkan. Karena setiap saat pun kita meminta kepada Tuhan. Meminta rizki, meminta nikmat sehat, bahkan meminta nikmat untuk sekadar  bernapas. Coba jika kita bayangkan, bila Tuhan tidak memberikan udara untuk kita. Apa kita bisa hidup? Saya rasa, kita semua pandai menjawabnya. 

            Tetapi, jika hidup selalu meminta, meminta, dan selamanya terus meminta. Apalagi menuntut sesuatu kewajiban yang seharusnya kita penuhi sebagai tanggung jawab kita. Justru kita limpahkan kepada orang lain. Bahkan orang tercinta dan yang menyayangi kita. Apa itu benar? Saya rasa tidak. Jika terjadi demikian, maka bukankah kita menyakiti perasaan baik fisik maupun psikologis seseorang? Menghilangkan tanggung jawab kita sebagai manusia yang beradab. Lalu, untuk apa Tuhan menciptakan kita. Kalau bukan untuk mendapat ridho-Nya dengan berdoa dan bekerja. Tidak ada kata terlambat bagi kita, apalagi jika masih muda untuk sekadar bekerja. Bertindak saja tidak, bagaimana kita bisa mencapai apa yang diimpikan? Apa yang ingin kita capai? 

            Lantas, jika hal yang kita impikan dan inginkan. Untuk hidup sejahtera dan tercukupi hanya dengan mengandalkan tindakan orang lain. Apakah kesejahteraan tersebut akan tercapai? Ada dua kemungkinan, berhasil atau bahkan tidak selamanya. Jika berhasil, tetapi hidup kita terasa kufur (selalu merasa tidak cukup), atau bahkan makanan yang kita makan adalah hasil dari kerja keras orang lain. Lalu, di mana harga diri kita? Apalagi jika sebagai seorang laki-laki. Tidak pantas melakukan hal seperti itu. Kedua, jika keinginan dan impian tersebut gagal. Pasti kita cenderung menyalahkan orang lain. Ingat! Kita pun tidak melakukan tindakan apapun, bagaimana bisa kita berpikir menyalahkan orang lain. Padahal, sukses dan sejahteranya seseorang. Karena ada kemauan, niat, dan langkah untuk bertindak. Jika tidak bertindak, siapa yang mau menjalankan? 

            Kecenderungan manusia, senang menyalahkan takdir atau bahkan menyalahkan diri sendiri. Dan yang lebih menyedihkan, yakni memarahi Tuhan dan menyalahkan orang lain. Padahal, kenyataannya bahwa seringnya memarahi Tuhan atau menyalahkan takdir karena kita sering membandingkan, sesuatu yang tidak kita miliki dengan sesuatu yang dimiliki orang lain. Kita tidak pernah tahu, rasa pahit dan terjalnya batu yang dialami seseorang hingga ia dapat mencapai kesuksesannya. Alih-alih kita menganggap Tuhan yang tidak adil, padahal kitalah yang tidak pernah adil kepada Tuhan. Itulah mahalnya sebuah proses! Agar kita tahu, bagaimana menghargai orang lain dan hidup ini. Agar kita tahu, bagaimana itu rasa bahagia, bagaimana rasa cinta, sakit, kecewa. Bayangkan, jika Tuhan tidak memberikan udara bagi kita untuk sekadar bernapas? Bayangkan, jika Tuhan tidak memberikan kasih sayangnya lagi kepada kita? Bayangkan jika anda yang tidak perlu saya sebutkan, hidup sendiri tanpa orang tercinta? Tidak ada yang bisa dimintai pertolongan. Tapi, saya percaya, Tuhan selalu Maha Pengasih dan Penyayang. Hanya saja, sebagai manusia kita yang tidak pandai mensyukuri nikmat. 

            Bukan keputusan yang menentukan takdir dari waktu sempit yang kita miliki. Lantas, menyalahkan takdir, orang lain, dan keputusan yang telah kita putuskan sendiri. Akan tetapi, bagaimana kita memanfaatkan kesempatan dari Tuhan yang sudah terbuka lebar, dengan segala  bukan kegagalan, tetapi memutuskan untuk tidak berjalan. 

Image Source : http://mimbaruntan.com

Rabu, 13 Mei 2015

Bolehkah Kita Plagiasi?

Image Source: svl.petra.ac.id 

Unik, ketika saya memberikan suatu pertanyaan Bolehkah Kami Plagiasi? Mungkin ada sebagian manusia menganggap sah-sah saja, selama itu tidak diplagiasi semua, mungkin ada juga yang kontra, karena baginya plagiasi adalah perbuatan sangat salah, karena melanggar hak cipta atau HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Lalu, jika kita mengcopy, atau menyontek pekerjaan orang lain apakah itu bisa disebut plagiasi? 

            Plagiarisme berasal dari bahasa Latin plagiari(us) yang berarti penculik dan plagium yang berarti plagi(um) yang berarti menculik. Kata ini pertama kali diperkenalkan pada abad pertama masehi oleh seorang penyair dari Romawi yang bernama Marcus Valerius Martialis. Pada waktu itu, ia mengeluhkan puisi lain yang kata-katanya sama dengan yang telah dibuatnya.

Menurut Sardy. S, Plagiasi adalah tindak pengambilan, pencurian pendapat, ide, pemikiran, kata, kalimat, karangan orang lain, dengan menjadikan sebagai milik sendiri. Sedangkan menurut kamus besar bahasa indonesia “Plagiat ialah pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah–olah karangan sendiri. Plagiarisme adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta. Menurut wikipedia, Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.[1][1] Plagiarisme didefinisikan dalam buku “Kode Etika Peneliti” (MPR LIPI, 2007) sebagai mengambil alih gagasan, atau kata-kata tertulis dari seseorang, tanpa pengakuan pengambilalihan dan dengan niat menjadikannya sebagai bagian dari karya keilmuan yang mengambil[2][2]. (Arsip online, http://ariyadin.blogspot.com)

Menurut IEEE (Institute of Electrical and Electronics Engineers) plagiarism as the reuse of someone else's prior ideas, processes, results, or words without explicitly acknowledging the original author and source[3][3]. (plagiarisme adalah penggunaan ulang ide seseorang, proses, hasil, atau kata-kata tanpa memberikan pengakuran kepada pengarang dan sumber aslinya). The American Heritage Dictionary of the English Language (4th Ed.) mendefinisikan plagiasi sebagai "a piece of writing that has been copied from someone else and is presented as being your own work[4][4]." (potongan karya tulis yang telah disalin dari orang lain dan dipresentasikan sebagai karyanya sendiri). Sedangkan The American Heritage Dictionary (2nd College Ed.) mendefinisikan plagiasi "to take and use as one's own the writings or ideas of another[5][5]."(mengambil dan menggunakan karya tulis atau ide seseorang sebagai miliknya). (Arsip online, http://ariyadin.blogspot.com)

            Lalu, apakah saat kita menyontek atau mencopy karya atau hasil kerjaan seseorang dapat dikatakan plagiasi? Jawaban saya ya. Sadar atau tidak kita sadari, saat kita mengambil atau mencuri ide atau gagasan baik itu dalam tulisan atau bentuk visual adalah plagiasi. Pelakunya disebut plagiator. Mengaku bahwa ide, gagasan, apa yang ia tuliskan adalah hasil karyanya adalah plagiasi. 

            Tanpa kita sadari, mengutip atau mengambil informasi baik sebagian ataupun secara keseluruhan dari buku, web, atau media lainnya tanpa ada pencantuman dari mana hal tersebut berasal maka itu plagiasi. Menyontek hasil karya atau jawaban apa yang dihasilkan oleh teman kita itu juga plagiasi. Entah dalam bentuk angka, atau tulisan. 

            Mungkin, bagi orang lain yang terbiasa dan memang begitu dibiasakan dengan “budaya plagiasi” adalah hal yang wajar. Namun, disini letak kesalahan kita yang selalu menganggap hal sederhana itu menjadi sangat sederhana. Loh, kita toh cuma ngutip kan dari orang lain? Lalu, apa masalahnya dengan orang lain yang mau dijiplak atau disontek karyanya oleh kita? 

            Sekarang pertanyaannya akan saya balik, Maukah hasil tulisan atau karya anda diambil atau bahkan diakui orang lain? Dan, orang tersebut sama sekali tidak menyertakan nama anda sebagai pemilik asli gagasan atau ide tersebut? Apa yang anda lakukan? 

            Oke, kita tidak perlu menjawabnya dalam tulisan ini. Kita bisa bercermin dalam diri kita masing-masing. Apakah kita mau diperlakukan tidak menyenangkan seperti itu? Atau kita menerimanya, namun hati tak bisa memaafkan. Saya hanya ingin bercerita, bahwa ketika kita mengatakan dengan lugas. Bahwasanya hidup diperkuliahan itu tinggal menyontek tugas orang lain. Hidup sebagai siswa/i ataupun mahasiswa/i itu santai saja, hanya formalitas. Tugas yang dikerjakan, sontek saja dari orang lain. Lalu, untuk apa anda pusing-pusing menempuh pendidikan jika moralitas anda tidak dibangun? Untuk apa anda ada disuatu lingkungan akademik, jika yang nantinya akan dicetak adalah manusia-manusia plagiasi? Mungkin, di lingkungan  sebagaian dari kita hal tersebut diperbolehkan, tidak begitu dipermasalahkan. Namun, selama saya menempuh pendidikan di lingkungan jurusan, salah satu yang menyebabkan “lama lulus” adalah plagiasi! Bisa memang membuat karya hasil plagiasi orang lain? Jawaban saya bisa, namun anda siap-siap dikeluarkan dengan cara tidak terhormat. 

            Bagi sebagian dari kita, mungkin lama kuliah tidak masalah. Buat skripsi toh kita tidak tahu laku atau tidak diluar sana. Namun, ada banyak hal yang seharusnya kita pikirkan. Kita menulis skripsi, karena ada tanggung jawab terbesar kita terhadap orang-orang disisi kita yang kita cintai, entah itu orang tua, keluarga, adik, kakak, dan sebagainya. Tanggung jawab kita terhadap Tuhan nantinya di dunia dan akhirat kelak, tanggung jawab kita terhadap Negara dan bangsa kita.  Bukankah ketika kita mendapat doa dari orang-orang yang mencintai kita, justru akan memudahkan kita untuk melewati masalah-masalah yang ada dalam hidup? Dari sinilah, jika selama menempuh pendidikan ada keterampilan yang kita mampu. Kita eksplorasi, kita gali lebih dalam apa yang menjadi jati diri kita. Apa kelebihan yang ada dalam diri kita, mampu dibaca. Bukan skripsi itu yang nanti kita jual atas diri kita. Walaupun tetap, nilai-nilai yang ada selama pendidikan kita ikut mendukung di dalamnya. Semakin kita melewati usia yang bertambah dewasa dan tua, maka makin besar tanggung jawab kita terhadap orang disekeliling kita dan diri sendiri. 

Kita tidak menyangkal, bahwa pendidikan memiliki tujuan utama untuk menghadirkan kehidupan yang sejahtera bagi warga negaranya. Lalu, bagaimana kita mampu mendidik, jika nilai-nilai moralitas seperti masalah plagiasi oleh kita sendiri ditolerir? Nah, jawaban itu kembali lagi kepada pandangan kita. Maukah kita menjadi orang yang pintar berbicara, pandai berkata, tetapi melakukan banyak hal tanpa memikirkan kebahagiaan orang yang ada disekeliling kita. Atau kita mau pintar berbicara, pandai berkata, dan melakukan banyak hal yang bermanfaat dan membahagiakan orang di sekitar kita. Jadi, bolehkah kita plagiasi?
           
                       
           


[1][1] http://id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme
[2][2] Majelis Profesor Riset, Kode Etika Peneliti, LIPI Press, 2007
[3][3] http://www.ieee.org di akses tanggal 10 Mei 2014
[4][4] Idem
[5][5] Idem

Minggu, 22 Maret 2015

Menulis Itu Suatu Ekspresi abadi, Seperti Sebuah Karya Seni







   Sepertinya saya harus mengucapkan syukur atas apa yang Allah SWT berikan kepada saya. Bukan karena telah menganugrahkan kedua buku di atas kepada saya, tetapi ini sungguh luar biasa nikmat darinya, karena kedua buku tersebut bercerita tentang ibu. Terbit di tahun yang berbeda, pertama saya tidak menyangka bisa menjadi kontributor menulis dari beratus-ratus orang yang ikut, ternyata saya masuk seleksi penulisan di Penerbit Diva Press pada tahun 2013. 

     Dari sana saya selalu berharap, bahwa saya bisa menerbitkan sebuah buku lagi tentang ibu dan selamanya akan begitu. Ternyata, di awal Januari 2015, saya masuk nominasi penerbiitan buku bertema Engkaulah Surgaku dari Penerbit Oksana. Saya merasa terkejut dan tak menyangka, jika hadiah dari tulisan saya sebelumnya akan kembali lagi di Tahun ini. Sungguh, Tuhan selalu berkonspirasi mewujudkan apa yang menjadi mimpi kita. Jika kita mau mewujudkannya dengan tidak pernah menyerah. 

    Saya selalu menganalogikan menulis itu sebagai suatu ekspresi abadi, seperti halnya karya seni. Why? Because all source of  idea. Ide bagi saya suatu yang abadi dalam peradaban manusia. Tuhan memberikan akal dan pikiran pada manusia yang sungguh luar biasa, Dia tidak akan pernah mati, hingga Tuhan berkata waktunya untuk pulang. Karena menulis bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan, selama itu benar dan tidak menyalahi aturan hidup. Menulis, membaca, dan mensketch akan selalu menjadi top list dalam hidup saya. Kepada kehidupan, terimakasih atas segala misterimu, telah aku curi segala yang ada padamu, maka terimalah segenap cintaku kepadamu, karena keindahan tak hanya tersentuh bahasa.



                                                                                                                          Regards





                                                                                                                      Rafidah Aprilia






Selasa, 13 Januari 2015

Nyanyian Hujan






Hujan, seperti malam-malam yang mendung. Namun hujan, mampu menciptakan melodi yang indah. Memecah kesunyian, kala malam sudah bisu. Aku, selalu suka hujan. Karena hujan, memanggil mereka yang kesepian. Memeluk mereka dengan butiran-butiran air yang membesar, melebar, meluas menjadi selimut tidur dikala dingin. Tetapi tidak untukku dan sebagian orang. Hujan, memberikan sepatah demi sepatah kata untukku. Hujan, menemaniku saat sendirian. Menari-nari di dalam benakku, menciptakan beribu bahasa. 

            Aku, pergi bersama hujan. Menembus kristal malam, sampai akhirnya terbawa cinta. Cinta kepada hujan, cinta kepada dia yang memunculkan pelangi. Aku suka pelangi, suka warnanya yang indah. Aku suka segala hal yang indah. Yang mampu menuntunku kepada bahasa rasa. Rasa, aku mencintai rasa yang membuatku mampu memahami kesaksian sebuah benda. Benda mati, ataupun yang hidup. Hujan, tidakkah kau tahu rasa cintaku padamu? Terkadang, aku egois. Tak membiarkanmu menyentuh tubuhku. Meskipun kau menemaniku dalam dinginnya malam. Maafkan aku hujan, aku tidak bermaksud menjauh darimu. Karena kau segalanya bagiku. Kau, menutupi sesak yang menghambur menjadi tangisku. Hingga mereka tidak pernah tau betapa aku terluka atau mereka tidak tahu betapa aku bahagia. 

            Ketika hujan menyentuh permukaan tanah, daun, ataupun lainnya. Tik...tik...tik... kau berubah menjadi fatamorgana. Menciptakan irama yang membuncah hingga terdengar ke bumi. Hujan... kaulah nyanyian terindah yang dinyanyikan Tuhan. Hujan, kaulah musik yang langsung kudengar dari sang pencipta. Suaramu, seperti melodi yang memecah bebatuan yang membisu ditengah jalan. Hujan, menemanimu yang kesepian. Menemanimu dalam sebuah irama cinta. Menemanimu dalam kebisuan malam. Karena hujan, aku miliki langit yang hitam temaram. Yang pada akhirnya, menciptakan beraneka macam warna tuk bernostalgia. 

pict by IM free

@RafidahAprilia



Tangan Yang Terulur



“Kau tidak membutuhkan tangan saya yang terulur, kau juga tidak butuh pendapat siapa pun tentang apa yang menjadi keahlianmu. Kau berhak menluapkan amarahmu pada saya, tapi tidak kepada rasa hormat saya padamu. Kau berhak tidak memberi maaf pada saya, tetapi bukan berarti kau tidak memberikan kesempatan pada saya, untuk sekadar mengulurkan tangan.”

            Kalimat di atas setidaknya membuat saya belajar untuk tidak menjadi manusia yang benar-benar mati akan kata maaf dan menghargai kebaikan yang dilakukan orang lain. Hari itu, saya benar-benar menyesal karena telah mengulurkan tangan saya kepada orang yang tidak bisa menghargai perlakuan baik dari saya. Seandainya tangan saya yang terbiasa untuk bersalaman terhenti, mungkin saya tidak akan pernah menyesal. Jujur, hati saya terdalam merasa tertusuk saat dia menganggap saya sebagai seorang yang meminta-minta. Meminta bukan dalam hal materi, tetapi rasa hormat saya kepadanya yang lebih tua dari usia saya diacuhkan begitu saja. 

            Saya sadar, saya telah melakukan kesalahan karena keterlambatan saya memasuki kelas. Saya tahu hal itu salah, karenanya saya mengulurkan tangan. Tidak hanya pada saat saya melakukan kesalahan, saya pun akan melakukan hal yang sama. Terkadang, ketidaksukaan kita terhadap sesuatu seperti halnya keterlambatan, sering kita lakukan.  Jadi, jangan pernah berharap orang lain mengerti apa yang kita inginkan. Sedangkan diri sendiri pun masih sering melakukannya.

Dia mungkin sudah tidak menganggap saya lagi sebagai seorang manusia yang berhak mengikuti bimbingannya. Namun, dia masih berkeinginan untuk meruntuhkan harga diri saya di depan semua yang ada. Saya terdiam, bukan tanpa makna. Namun, hati dan bibir saya terus berucap. Saya mencoba melindungi hati saya agar tidak hancur dan terluka dengan cara membentengi hati saya dengan doa.  

            Saya, dan kepala-kepala lainnya tidak pernah diingat. Bahkan menatap saja tidak. Jika tidak diingat berarti tidak pernah ada. Terkadang ada sesuatu yang meluap dalam perasaan kita, dan tidak bisa kita bendung lagi. Ada sebagian dari mereka meluapkan perasaannya dengan tangisnya, karena dianggap tidak  pernah ada. Sedangkan saya, dan sebagian dari mereka hanya mampu berbesar hati. Melapangkan hati masing-masing akan lebih baik, dari pada meluapkan tangis yang tak sepenuhnya tangis itu atas kesalahan kita. 

            Ada beberapa kepala yang merasa tenang. Karena ia tidak pernah merasakan kegelisahan apa pun. Mereka hanya mampu melindungi diri sendiri. Tidak peduli dengan kegelisahan apa pun. Yang terpenting, mereka mampu meraih mimpi mereka. Saya tahu dan semua tahu itu, jika setiap manusia berhak memiliki mimpi dan cita-cita nya dan mencapainya dengan caranya sendiri. Namun, sebuah mimpi dan cita-cita tidak selayaknya egois terhadap mimpi yang lain. Biarkanlah mimpi dan cita-cita itu berkembang serta biarkan rasa cinta muncul di antara keduanya. Sekarang, yang saya butuhkan dan yang lain harapkan hanya menerima.

Rawamangun, 15 Oktober 2014