Cerpen ini aku adaptasi dari salah satu kumcer novelis terkenal Indonesia yaitu Dee. Namun, berbeda tokoh dan jalan cerita. Disini, aku mencoba memaknakan kehadiran seorang ibu di hati anaknya. Semoga kalian yang membaca blogku, semakin mencintai wanita dengan tiga huruf yaitu "IBU".
Dialah satu-satunya
bintang yang dapat kuraih dari jutaan bintang di langit. Dialah satu-satunya
pula bidadari yang dikirimkan Tuhan dengan segala cinta dan kasih sayangnya. Cintanya
adalah berjuta-juta ketulusan dan air mata yang takkan habis. Baginya, cinta
itu tak hanya sekadar
waktu untuk dirinya sendiri melainkan untuk anak-anaknya, dialah
ibu.
Tak ada yang mengerti mengapa aku ada disini. Bersama
dengan malaikat-malaikat kecil yang tertidur dengan satu harapan, yaitu bertemu dengan bidadari tanpa sayap mereka
yang tak lain ibu. Malam itu, mereka semua tertidur dengan napas
naik turun, walaupun hati mereka masih berharap
bertemu dengan seseorang yang telah membawanya ke dunia. Aku mengamati
wajah-wajah mungil mereka yang seakan-akan berpesan bahwa Aku baik-baik saja ibu. Hati kecilku berkata pesan itu akan tiba kepada ibumu, batinku. Namun entah dengan cara
apa.
Tidak
semua proses kelahiran bayi berjalan sempurna. Bunda, selalu menanam harap
sebelum tangis awal sang buah hati pecah. Ia mengeluarkan seluruh keringat,
tenaga, serta air matanya hanya untuk melihat sosok malaikat kecilnya. Tak
peduli sakit yang terus menerus menghantam tubuhnya, ia tetap melawan dengan
segenap kekuatannya.
***
Hari
ini tepat aku berusia dua puluh lima tahun.
Usiaku seakan berjalan sangat cepat, malam ini aku
mengadakan reunian bersama teman-teman masa SMA. Sungguh ini sebuah kebetulan
atau tidak, atau ini skenario
yang tuhan berikan untukku.
Tepat,
tanggal 22 Desember hari ulang tahunku dan kami saling bertemu.
Malam
ini aku datang terlambat, padahal hari ini akulah yang menjadi tuan untuk
mereka. Kakiku melangkah menuju sebuah bistro yang cukup ramai oleh pengunjung.
Tak heran jika bistro ini dipenuhi oleh lautan manusia, karena makanan yang
ditawarkan mampu memanjakan lidah
siapa saja yang menginjakkan kaki di dalamnya. Bistro yang sederhana ini merupakan tempat favorit
kami sejak SMA. Saat kakiku melangkah ke dalam, lampu-lampu
remang menyambut hangat kedatanganku. Karena sangat penuh dengan kepala-kepala
manusia, aku sedikit kebingungan menemukan meja mereka. Sampai pada akhirnya salah satu dari mereka
berteriak memanggil namaku. Wajahnya sedikit berbeda dengan delapan tahun yang
lalu. Dia mempersilahkan aku duduk disebuah kursi kosong yang berada
didekatnya. Aku memberikan seulas senyuman pada mereka sebagai tanda
terimakasih sekaligus permohonan maafku.
Kami
pun memulai pembicaraan dengan menanyakan kabar masing-masing dan tak lupa
mereka mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Terkadang gelak tawa muncul
diantara kami, dan merespons dengan kalimat-kalimat yang bermacam-macam atas
pembicaraan apapun.
“Oh
ya, bagaimana dengan pekerjaanmu Dev?” tanya wanita berambut panjang sebahu
kemudian melanjutkan “Apa pekerjaanmu sangat nyaman?” tanyanya lagi seperti
seorang polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.
Dengan
cepat segera kujelaskan pada mereka jika aku bekerja disebuah rumah sakit dan
aku sangat mencintai pekerjaanku. Beberapa orang dari mereka yang mendengar
penjelasanku sontak terlihat kagum dan ada yang menunjukkan reaksi biasa saja. Keadaan
kembali sunyi, sampai seorang laki-laki berkemeja putih memecah keheningan.
“Hari ini kan tepat dengan hari ibu, sekaligus hari ulang tahun Deva. Bagaimana
kalau masing-masing dari kita bertukar cerita tentang ibu?” sarannya dengan
wajah penuh harap. “Aku sangat setuju dengan idemu.” laki-laki disampingnya
angkat bicara lalu menambahkan “Bagi yang ceritanya mengharukan, akan mendapatkan
hadiah yaitu...” Ia menunjuk semua makanan yang terhidang diatas meja sambil
tersenyum.
Ide
tersebut seperti kurang disetujui oleh mereka, termasuk aku. Wajar saja jika aku tidak sependapat, karena
bagaimanapun makanan yang tersaji sudah pasti aku yang membayarnya. Tiap-tiap
wajah saling menatap satu sama lain. Tiba-tiba, wanita berambut ikal angkat
bicara, “Aku setuju dengan ide bercerita itu. Tapi, aku kurang setuju jika
makanan seperti yang tersaji diatas meja dijadikan hadiahnya. Lebih baik, yang
menang diizinkan untuk meminta apapun yang diinginkannya.” dia menjelaskan
dengan nada tegas dan penuh penekanan. Sementara yang lain hanya mengangguk
tanda setuju dengan ide kedua.
Akhirnya,
ide kedua disetujui oleh mereka dan juga aku. Pencerita dimulai dari wanita
berambut panjang sebahu bernama Nita. Dia bercerita mengenai ibu. Seorang ibu
yang sangat dicintainya hingga dia menjadi seorang pengusaha kaya diusianya
sekarang yang terbilang masih muda. Sejak
ayah dan ibunya bercerai, ketika ia
berusia dua belas tahun. Sang
ibu rela menjual perhiasan yang dimiliki hanya untuk membiayai sekolahnya. Kemudian,
cerita dilanjutkan oleh laki-laki berkemeja putih. Terlihat tatapannya
menerawang pada bola-bola lampu yang remang, tatapannya terlihat kosong. Kecuali apa yang ada di benaknya saat itu.
Dia bercerita tentang mimpinya bertemu dengan sosok cahaya putih. Dalam
mimpinya itu, cahaya putih itu berubah menjadi sosok manusia. Dia mencoba mengira-ngira
siapa sosok cahaya yang dilihatnya. Saat cahaya itu hendak merengkuhnya justru
dia merasakan hangat dan terbangun. Sampai saat ini, dia mengira jika sosok
cahaya dalam mimpinya adalah malaikat
yang menyerupai ibunya.
Kami
semua terdiam dan merenungkan kisah yang telah diceritakan. “Apa mungkin, sosok itu adalah
malaikat?” tanya gadis berkulit putih memakai kacamata. “Aku yakin, jika sosok cahaya itu adalah malaikat yang
menyerupai ibuku. Karenanya, aku takut jika ia mengambil ibu disisiku. Aku
tidak akan pernah membayangkan jika ibu menghilang dari pandanganku.” jawabnya
dengan alasan yang terlihat
meyakinkan jika sosok tersebut adalah malaikat.
Setelahnya, sosok wanita berambut
pirang bernama Stella mulai berkisah mengenai
ibunya. Ia bercerita mengenai sosok ibu yang sukses diusia muda. Ibu yang
lulusan sarjana dan bergelar doktor di negeri orang. Sampai sekarang ini ia pun
selalu merasa bahagia dalam hidup yang bebas dan penuh dengan mimpi yang
terealisasikan hingga kini.
Jarum jam pun terus berdetak, waktu
sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Cerita itu masih terus berlanjut, hingga
diiringi timpalan pertanyaan. Aku yang terdiam sejak tadi, hanya mengangguk
mendengar tiap kisah dari si pencerita.
“Sekarang... giliranmu.” suara itu
memecah keheningan. Sampai aku yang menopang dagu dengan satu tangan menumpu
dimeja tercengang. Setiap kepala menoleh ke arahku. Ekor mataku tak mampu
menatap mereka satu persatu. Segera aku mengalihkan pandangan menatap angkasa
dari balik kaca. Kutatap bintang diatas langit.
Sejenak aku teringat sosok bidadari
yang dulu ada dan selama-lamanya tetap ada. Ya
benar bidadari tanpa sayap. Bidadari yang selalu memberi perlindungan saat
anak-anak manusia diam. Diam dalam sebuah ruang yang tak terdefinisikan. Saat tangis sang anak pecah dan tak bisa terlihat, namun
mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Seketika itu, hati ibu yang berbicara
hingga ia menghampiri malaikat kecilnya. Memberikan harapan agar ia bisa terus terlindungi.
Aku memulai kisah, tentang seorang anak manusia yang hidup dalam
kesederhanaan. Tentang anak manusia yang hidup dalam penderitaan. Hingga ia tak
sanggup melewati kehidupan yang menyeretnya masuk dan tenggelam dalam
kegelapan. Hanya warna hitam yang ia tahu dalam kehidupan ini. Ia tidak sadar
akan adanya pelangi yang berwarna-warni. Ia tidak tahu warna biru, merah,
kuning, hijau, jingga, ungu, dan lainnya. Yang ia pahami hanya hitam. Warna
hitam yang selalu hadir dalam setiap hari-harinya. Hanya hitam yang terdefinisi
didalam memorinya.
Aku berhenti sejenak, kulihat dan kupahami wajah
mereka satu-persatu. Terlihat raut ingin tahu kelanjutan akan kisah yang aku
tuturkan. Laki-laki berkemeja abu-abu mengerutkan keningnya, penasaran yang
kutangkap dari ekspresinya.
Aku pun melanjutkan kisahku meski terasa ada yang
mengganjal sudut mataku. Kucoba menahan getaran pita suara agar stabil. Aku
menghela napas panjang, lalu kembali berbicara. Anak itu adalah anak yang
paling beruntung, sekaligus tidak. Ia memiliki seorang bidadari tanpa sayap
yang rela menyerahkan warna pelangi untuknya. Sementara, ia tidak dapat melihat
bidadari tanpa sayap yang telah menyerahkan warna pelangi untuknya itu. Ia
hanya bisa melihat melalui bingkai foto. Namun, ia masih sanggup merasakan
kasih sayangnya, merasakan sentuhan tangannya ketika mengelus keningnya,
mendengar suara yang indah melebihi suara yang pernah ia dengar di dunia ini
sekalipun suara kicauan burung yang bernyanyi merdu. Itu semua ia rasakan
ketika dahulu, saat bidadari tanpa sayapnya masih sanggup berdiri dan bernapas.
“Kalian semua adalah orang yang berbahagia. Sejak
keluar dari rumah yang paling aman yaitu rahim ibu, kalian bisa melihat wanita
terindah dari ciptaan-Nya. Kalian bisa melihat pelangi tanpa hanya tahu warna
hitam, dan melihat sosok bidadari tanpa sayap. Mengelus wajahnya yang mungkin
saat ini sudah mulai menua. Saya adalah orang yang tidak beruntung, karena saya
tidak pernah melihat sosok bidadari tanpa sayap yang telah membawa saya ke alam
dunia. Walaupun begitu, saya adalah orang yang paling beruntung, karena telah
memiliki bidadari tanpa sayap sepertinya. Ia ingin membuktikan pada semesta
alam bahwa cintanya adalah seluruh ketulusan, kasih sayang, dan pengorbanan
yang tak tergantikan.” Aku menyudahi kisah ini sambil menarik napas
dalam-dalam.
Tak dapat kukira, butiran-butiran air jatuh dari
sepasang ekor mata mereka. Begitupun aku, ku hapus butiran air mata dengan
sehelai sapu tangan. Mereka semua bertepuk tangan, tak menyangka jika orang
pendiam sejak SMA sepertiku mampu mengeluarkan sihir untuk mereka.
Mereka sepertinya sudah paham siapa yang menjadi
pemenangnya. Seorang wanita berambut panjang sebahu yang sejak awal
kedatanganku tidak nyaman, mendadak menyalamiku sambil tersenyum. Mereka semua
bertepuk tangan sekali lagi. Aku membalas uluran tangannya, lalu menunduk
sejenak.
“Kita sudah tahu pemenangnya adalah… Deva!” ujar
wanita berambut ikal dan pirang. Aku pun tersenyum tak menyangka jika ceritaku
dinobatkan menjadi yang terbaik.
Kini, giliranku untuk meminta hadiah pada siapa saja
yang aku kehendaki. Aku hanya meminta satu, tidak hanya untuk orang yang aku
pilih. Tapi, untuk mereka yang hadir dan pernah mengenalku. Satu harapan yang
ku ucapkan, “Hargailah ibumu, melebihi engkau menghargai dirimu sendiri. Karena
jika sampai kau kehilangannya sebelum ada sesuatu hal dari dirimu yang patut
dibanggakan, maka kita akan menyesal selama-lamanya.” Setelahnya, aku berdiri
dan mengucapkan salam perpisahan pada mereka sekaligus membayar pesanan makanan
sebagai tuan pada malam ini.
***
Matahari mulai menampakkan dirinya. Sejak pukul 06.00
pagi aku sudah melangkahkan kaki menuju rumah sakit. Hari ini, sekitar pukul
dua belas lewat lima belas menit, aku membantu dokter Jonathan untuk melakukan
proses persalinan pasiennya. Ini bukan tugasku untuk yang pertama kalinya,
mungkin sudah ke sekian kalinya. Dan… bukan yang sekian kalinya juga aku menjatuhkan
butiran air yang membendung dipinggir mataku, dan akirnya pecah keluar hingga
menyelam kedalam hati. Aku mempersiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan
sebelum proses persalinan.
Ibu itu sudah menarik napas dalam-dalam. Dengan penuh
keringat dan kekuatan dihempaskanlah rasa sakit itu keluar. Hingga beberapa menit kemudian, tangis sang
buah hati pecah. Tangisnya memecah ruangan yang tidak besar itu, bersama dengan
isak tangis sang ibu.
Aku membopong sang malaikat kecil, membawanya menuju
bidadari tanpa sayapnya. Ia mencium, mendekap, dan membawa malaikat kecilnya
pada sentuhan hangat. Sang bidadari tanpa sayap dan malaikat kecilnya
menghembuskan napas bersama-sama. Aku menitikkan air mata, mengingatkanku pada
sosok bidadari tanpa sayapku yang aku yakin sudah damai dalam surga.
Aku bahagia melihatnya, karena malaikat kecil itu bisa
terlahir normal. Tidak sepertiku dulu, seharusnya aku sudah bisa mengenali
kehidupanku dengan baik, tetapi aku sama sekali tidak memiliki ingatan tentang
rupa ibuku. Bahkan, aku tidak ingat pernah melihat wajahnya. Ibu adalah orang
yang terbang begitu saja bersama daun-daun yang tertiup angin. Tapi, ibu adalah
sosok bidadari tanpa sayap yang pernah hadir dalam hidupku dan tiba-tiba pergi
begitu saja. Terkadang aku mendapat celaan karena menyandang status anak yatim
piatu. Tapi, aku tidak membenci ibu yang membawaku ke semesta alam. Aku
merindukan ibu dan selalu merindukannya.
***
Image by : Devianart
Writer : Rafidah Aprilia
Image by : Devianart
Writer : Rafidah Aprilia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar