Sore itu, matahari tepat berwarna jingga keemasan. Matahari
sudah menunjukkan senjanya. Aku menatap wanita bermata sendu yang tengah berdiri
melihat lukisan-lukisan di galeri. Ya, tepatnya lukisan-lukisan bergaya klasik,
impressionis, dan surealis yang mendominasi galeri lukisan ini. Setiap
minggunya, galeri ini membawakan seratus lukisan yang dibuat oleh pelukis-pelukis
terkenal di seluruh dunia. Entah kenapa, wanita bermata sendu itu sangat
menyukai salah satu lukisan yang terpajang di pojok dinding.
Aku
menghampiri wanita bermata sendu itu. “Maaf, sepertinya nyonya sangat menyukai
lukisan itu.” Aku mencoba mengawali pembicaraan.
Wanita
itu menoleh dan melayangkan pandangan ke arahku. Mata hazelnya yang berwarna
cokelat kelabu itu bertatapan dengan bola mataku. Dia tersenyum. Namun,
senyuman itu terasa hambar.
“Jika
aku boleh tahu, siapa nama anda?” tanyaku sembari mengulurkan tangan kepadanya.
Dia
menerima uluran tanganku. “Namaku Caroline Hand.”
“Oh,
Nyonya Caroline. Senang bertemu dengan anda.” ucapku kepadanya. “Anda?” tanyanya kemudian.
“Saya
Stephanie Blood.”
Dia
hanya tersenyum. Tetapi, tetap saja senyuman itu terasa hambar. Entah sudah
keberapa kali aku mengunjungi galeri ini selama aku studi di Wina. Aku selalu
melihat wanita bermata sendu itu berdiri di posisi pojok ruangan. Melihat
lukisan abstrak impresionis dengan cat berwarna keabu-abuan itu. Ya, hanya
abu-abu. Tidak ada warna lain. Aku juga tidak pernah tahu kenapa pelukisnya hanya
mewarnai dengan warna peralihan antara hitam dengan putih. Oh, aku salah.
Abu-abu bukan warna. Tapi itu value. Ya, yang benar value. Abu-abu disebut Tone.
“Saya
permisi pergi. Kali lain kita bisa berbicara.” ujarnya lalu berlalu dari
hadapanku.
Aku
hanya memandangi punggungnya, sampai menghilang dibalik kerumunan orang.
Aku
menghela napas. “Wanita yang aneh.” gumamku pelan.
Keesokan
harinya, aku kembali mengunjungi galeri itu. Manik mataku langsung menjurus
pada pojok dinding galeri. Aku masih menemukan sosok yang sama, yaitu wanita bermata
sendu. Oh, tidak! Wanita itu memiliki nama. Kemarin, baru saja aku berkenalan
dengannya. Namaya Nyonya Caroline. Dia tengah menikmati lukisan abstrak
impresionis itu. Aku mencoba menghampirinya. Walaupun hatiku cukup berdebar. Aku
hanya takut jika alih-alih pertanyaanku nanti justru membuatnya tersinggung. Rasa
penasaranku kepada wanita itu belum habis. Dia adalah satu-satunya manusia yang
mau melihat lukisan yang terpajang dipojok dinding itu berlama-lama. Sedangkan
ribuan orang yang berkunjung, hanya melihat sesaat. Dan, memotret lukisan indah
lainnya.
“Sore
Nyonya Caroline.” sapaku pada wanita itu.
Dia
hanya tersenyum sendu. Tak melakukan reaksi apa-apa. Aku mencoba bertanya
padanya.
“Maaf,
apa Nyonya sangat menyukai lukisan itu?” Aku bertanya dengan pertanyaan yang sempat
aku lontarkan padanya.
“Sangat.”
jawabnya ringan.
Aku
mengangguk.
“Nyonya
menyukai value dari lukisan itu?”
Dia
hanya mengangguk. Sesaat kemudian, butir-butir air mata jatuh membasahi
pipinya. Dia menunduk.
“Nyonya,
maaf kalau pertanyaanku menyinggungmu. Apa kau baik-baik saja?”
Dia
menyapu air mata dengan sebelah tangannya.
“Saya
baik-baik saja.” katanya dengan nada lirih.
“Maaf,
jika pertanyaanku membuatmu tersinggung.”
Dia
menoleh ke arahku. Tatapannya sendu, seperti orang yang kesepian. Mata hazelnya
menatapku lekat-lekat.
“Saya
sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan anda. Hanya saja... baru anda yang
menayakan hal ini pada saya.” katanya kemudian tersenyum.
Aku
ikut tersenyum.
“Saya
adalah orang yang menyukai karya seni. Apa pun itu, termasuk lukisan.” ucap Nyonya
Caroline. Dia menarik napas pelan sebelum melanjutkan. Nada bicaranya sedikit parau.
“Bagi saya, penampilan luar dari apa pun yang saya lihat tidak masalah. Saya
tahu, orang-orang pasti bertanya-tanya. Kenapa hanya saya yang sangat mencintai
lukisan ini. Hanya saya yang mampu menatap berlama-lama. Dan, hanya saya yang
dalam sekejap mampu terpana. Lukisan ini, saya rasa seperti halnya bayi yang
baru lahir. Dia tidak pernah salah, tetapi dijauhi. Dia tidak pernah melakukan
dosa. Tetapi dia dianggap berdosa.” ucapnya panjang lebar. Aku masih tidak
mengerti maksud ucapannya. Alih-alih justru membuat dahiku berkerut samar. Dia
paham, dia mengerti maksud tatapanku.
“Orang
lain sering kali cepat memberikan penilaian terhadap apa yang dilihatnya. Tanpa
perlu tahu isi dalamnya. Tanpa tahu hakikat mengenal, memahami, dan mempelajari
lebih dalam saat melihat sesuatu. Entah itu benda hidup, atau pun benda mati. Mereka
hanya bisa pergi. Meninggalkan, merasa diri sendiri lebih sempurna dan mengalah
lebih banyak. Merasa mereka lebih paham segalanya. Sehingga meninggalkan apa
yang tidak mereka suka. Membenarkan apa yang mereka lakukan.” Dia berucap lagi,
dan kali ini tatapannya semakin sendu.
“Saya
hanya tidak mau berpikir, jika saya hanya menggunakan otak di dalam kepala saya.
Yang sudah termainset dengan teori-teori
yang sebenarnya belum pasti kebenarannya. Saya tidak mau berpikir hanya
menggunakan otak, tanpa melibatkan tempurung otak yang melindunginya. Lukisan
ini memang tidak sempurna. Tetapi, coba anda bayangkan. Melalui
ketidaksempurnaannya— lukisan ini menjadi sangat-sangat sempurna. Bahkan,
istimewa. Pelukisnya memang tidak perlu melukis hanya untuk orang lain melihat
pengakuan dosa darinya. Tetapi, dia melukis melibatkan rasa. Rasalah yang
bertindak.” Wanita itu berucap dengan suara menggebu-gebu. Suaranya berubah
menjadi sebuah desisan. Dia menahan tangis, suaranya bergetar. Aku menyentuh
bahunya, mengusap berkali-kali dengan penuh kelembutan. Aku tahu apa yang
dirasakannya. Mungkin jika ada juri kritik seni paling hebat. Dialah orangnya.
“Maaf,
maaf jika saya melakukan hal yang memalukan seperti ini. Berbicara omong kosong yang belum tentu orang lain
mengerti.” katanya sembari mengusap pipinya yang halus dengan punggung
tangannya.
“Tidak,
anda tidak perlu berkata seperti itu. Aku senang anda berkata begitu. Anda
mampu membuat diriku sadar. Sadar akan banyak hal. Jujur, aku juga merasa apa
pun yang saya pahami dan apa pun yang saya lakukan adalah benar. Saya juga
sering menilai sesuatu dari apa yang saya lihat. Termasuk kepada lukisan ini. Justru,
karena nyonya mau terbuka denganku. Aku menjadi mengerti. Terimakasih Nyonya Caroline.”
ujarku sambil mengulum senyum.
Aku
tidak pernah menyangka, Nyonya Caroline memelukku erat. Aku juga melingkarkan
kedua tangan di lehernya. Kami berpelukan erat. Aku tersenyum bahagia, karena satu
rahasia dalam hidup ini telah memberitahuku. Terkadang, kita merasa benar
dengan apa yang telah kita lakukan. Tanpa sadar, sesuatu yang kita yakini benar
itu menyakiti yang lain. Terkadang juga, kita merasa lebih kecewa dari orang
lain. Tanpa pernah ingin tahu betapa besar kecewanya orang lain terhadap kita. Banyak
orang yang mengkritik hasil sebuah karya secara tidak sopan. Tanpa pernah tahu
seberapa besar imajinasi, waktu, dan keringat sang pembuat karya menciptakan mahakarya
tersebut. Mereka hanya menilai hasil akhir, bukan sebuah proses untuk
memperoleh kesempurnaan. Karena tidak ada karya yang melebihi sempurnanya hasil
cipta Tuhan sang pencipta yang sesungguhnya.
Author : Rafidah Aprilia Mahmudah
Image Source : kaskus.co.id
For
readers who always read my short story.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar