Rabu, 03 September 2014

Warna yang Kesepian



            Sore itu, matahari tepat berwarna jingga keemasan. Matahari sudah menunjukkan senjanya. Aku menatap wanita bermata sendu yang tengah berdiri melihat lukisan-lukisan di galeri. Ya, tepatnya lukisan-lukisan bergaya klasik, impressionis, dan surealis yang mendominasi galeri lukisan ini. Setiap minggunya, galeri ini membawakan seratus lukisan yang dibuat oleh pelukis-pelukis terkenal di seluruh dunia. Entah kenapa, wanita bermata sendu itu sangat menyukai salah satu lukisan yang terpajang di pojok dinding. 

            Aku menghampiri wanita bermata sendu itu. “Maaf, sepertinya nyonya sangat menyukai lukisan itu.” Aku mencoba mengawali pembicaraan. 

            Wanita itu menoleh dan melayangkan pandangan ke arahku. Mata hazelnya yang berwarna cokelat kelabu itu bertatapan dengan bola mataku. Dia tersenyum. Namun, senyuman itu terasa hambar.

            “Jika aku boleh tahu, siapa nama anda?” tanyaku sembari mengulurkan tangan kepadanya.
            Dia menerima uluran tanganku. “Namaku Caroline Hand.” 

            “Oh, Nyonya Caroline. Senang bertemu dengan anda.” ucapku kepadanya.            “Anda?” tanyanya kemudian. 

            “Saya Stephanie Blood.” 

            Dia hanya tersenyum. Tetapi, tetap saja senyuman itu terasa hambar. Entah sudah keberapa kali aku mengunjungi galeri ini selama aku studi di Wina. Aku selalu melihat wanita bermata sendu itu berdiri di posisi pojok ruangan. Melihat lukisan abstrak impresionis dengan cat berwarna keabu-abuan itu. Ya, hanya abu-abu. Tidak ada warna lain. Aku juga tidak pernah tahu kenapa pelukisnya hanya mewarnai dengan warna peralihan antara hitam dengan putih. Oh, aku salah. Abu-abu bukan warna. Tapi itu value. Ya, yang benar value. Abu-abu disebut Tone

            “Saya permisi pergi. Kali lain kita bisa berbicara.” ujarnya lalu berlalu dari hadapanku. 

            Aku hanya memandangi punggungnya, sampai menghilang dibalik kerumunan orang. 

            Aku menghela napas. “Wanita yang aneh.” gumamku pelan. 

            Keesokan harinya, aku kembali mengunjungi galeri itu. Manik mataku langsung menjurus pada pojok dinding galeri. Aku masih menemukan sosok yang sama, yaitu wanita bermata sendu. Oh, tidak! Wanita itu memiliki nama. Kemarin, baru saja aku berkenalan dengannya. Namaya Nyonya Caroline. Dia tengah menikmati lukisan abstrak impresionis itu. Aku mencoba menghampirinya. Walaupun hatiku cukup berdebar. Aku hanya takut jika alih-alih pertanyaanku nanti justru membuatnya tersinggung. Rasa penasaranku kepada wanita itu belum habis. Dia adalah satu-satunya manusia yang mau melihat lukisan yang terpajang dipojok dinding itu berlama-lama. Sedangkan ribuan orang yang berkunjung, hanya melihat sesaat. Dan, memotret lukisan indah lainnya. 

            “Sore Nyonya Caroline.” sapaku pada wanita itu. 

            Dia hanya tersenyum sendu. Tak melakukan reaksi apa-apa. Aku mencoba bertanya padanya. 

            “Maaf, apa Nyonya sangat menyukai lukisan itu?” Aku bertanya dengan pertanyaan yang sempat aku lontarkan padanya. 

            “Sangat.” jawabnya ringan. 

            Aku mengangguk. 

            “Nyonya menyukai value dari lukisan itu?” 

            Dia hanya mengangguk. Sesaat kemudian, butir-butir air mata jatuh membasahi pipinya. Dia menunduk.
            “Nyonya, maaf kalau pertanyaanku menyinggungmu. Apa kau baik-baik saja?” 

            Dia menyapu air mata dengan sebelah tangannya. 

            “Saya baik-baik saja.” katanya dengan nada lirih.

            “Maaf, jika pertanyaanku membuatmu tersinggung.” 

            Dia menoleh ke arahku. Tatapannya sendu, seperti orang yang kesepian. Mata hazelnya menatapku lekat-lekat. 

            “Saya sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan anda. Hanya saja... baru anda yang menayakan hal ini pada saya.” katanya kemudian tersenyum. 

            Aku ikut tersenyum. 

            “Saya adalah orang yang menyukai karya seni. Apa pun itu, termasuk lukisan.” ucap Nyonya Caroline. Dia menarik napas pelan sebelum melanjutkan. Nada bicaranya sedikit parau. “Bagi saya, penampilan luar dari apa pun yang saya lihat tidak masalah. Saya tahu, orang-orang pasti bertanya-tanya. Kenapa hanya saya yang sangat mencintai lukisan ini. Hanya saya yang mampu menatap berlama-lama. Dan, hanya saya yang dalam sekejap mampu terpana. Lukisan ini, saya rasa seperti halnya bayi yang baru lahir. Dia tidak pernah salah, tetapi dijauhi. Dia tidak pernah melakukan dosa. Tetapi dia dianggap berdosa.” ucapnya panjang lebar. Aku masih tidak mengerti maksud ucapannya. Alih-alih justru membuat dahiku berkerut samar. Dia paham, dia mengerti maksud tatapanku. 

            “Orang lain sering kali cepat memberikan penilaian terhadap apa yang dilihatnya. Tanpa perlu tahu isi dalamnya. Tanpa tahu hakikat mengenal, memahami, dan mempelajari lebih dalam saat melihat sesuatu. Entah itu benda hidup, atau pun benda mati. Mereka hanya bisa pergi. Meninggalkan, merasa diri sendiri lebih sempurna dan mengalah lebih banyak. Merasa mereka lebih paham segalanya. Sehingga meninggalkan apa yang tidak mereka suka. Membenarkan apa yang mereka lakukan.” Dia berucap lagi, dan kali ini tatapannya semakin sendu. 

            “Saya hanya tidak mau berpikir, jika saya hanya menggunakan otak di dalam kepala saya. Yang sudah termainset dengan teori-teori yang sebenarnya belum pasti kebenarannya. Saya tidak mau berpikir hanya menggunakan otak, tanpa melibatkan tempurung otak yang melindunginya. Lukisan ini memang tidak sempurna. Tetapi, coba anda bayangkan. Melalui ketidaksempurnaannya— lukisan ini menjadi sangat-sangat sempurna. Bahkan, istimewa. Pelukisnya memang tidak perlu melukis hanya untuk orang lain melihat pengakuan dosa darinya. Tetapi, dia melukis melibatkan rasa. Rasalah yang bertindak.” Wanita itu berucap dengan suara menggebu-gebu. Suaranya berubah menjadi sebuah desisan. Dia menahan tangis, suaranya bergetar. Aku menyentuh bahunya, mengusap berkali-kali dengan penuh kelembutan. Aku tahu apa yang dirasakannya. Mungkin jika ada juri kritik seni paling hebat. Dialah orangnya. 

            “Maaf, maaf jika saya melakukan hal yang memalukan seperti ini. Berbicara omong kosong yang belum tentu orang lain mengerti.” katanya sembari mengusap pipinya yang halus dengan punggung tangannya.

            “Tidak, anda tidak perlu berkata seperti itu. Aku senang anda berkata begitu. Anda mampu membuat diriku sadar. Sadar akan banyak hal. Jujur, aku juga merasa apa pun yang saya pahami dan apa pun yang saya lakukan adalah benar. Saya juga sering menilai sesuatu dari apa yang saya lihat. Termasuk kepada lukisan ini. Justru, karena nyonya mau terbuka denganku. Aku menjadi mengerti. Terimakasih Nyonya Caroline.” ujarku sambil mengulum senyum. 

            Aku tidak pernah menyangka, Nyonya Caroline memelukku erat. Aku juga melingkarkan kedua tangan di lehernya. Kami berpelukan erat. Aku tersenyum bahagia, karena satu rahasia dalam hidup ini telah memberitahuku. Terkadang, kita merasa benar dengan apa yang telah kita lakukan. Tanpa sadar, sesuatu yang kita yakini benar itu menyakiti yang lain. Terkadang juga, kita merasa lebih kecewa dari orang lain. Tanpa pernah ingin tahu betapa besar kecewanya orang lain terhadap kita. Banyak orang yang mengkritik hasil sebuah karya secara tidak sopan. Tanpa pernah tahu seberapa besar imajinasi, waktu, dan keringat sang pembuat karya menciptakan mahakarya tersebut. Mereka hanya menilai hasil akhir, bukan sebuah proses untuk memperoleh kesempurnaan. Karena tidak ada karya yang melebihi sempurnanya hasil cipta Tuhan sang pencipta yang sesungguhnya. 

Author            : Rafidah Aprilia Mahmudah
Image Source : kaskus.co.id
For readers who always read my short story.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar