Jumat, 15 Agustus 2014

Gadis Yang Pemalu


Kala itu, ada seorang gadis yang sangat pemalu. Ya, pemalu. Aku tidak pernah tahu apa alasan dia menjadi pemalu. Enggan bertatapan dengan orang banyak. Sendiri. Itu kata yang aku tangkap setiap melihatnya. Ingin sekali aku membuatnya bergerak, menyentuh, menggenggam, berjalan, atau bahkan, melangkah. 

            Gadis itu.....

            Namanya Uchikina shōjo, tepat seperti namanya. Bukan, itu bukan namanya. Ah, aku tidak tahu. Entahlah, aku tidak tahu kenapa dia begitu pemalu. Enggan berbicara, apalagi mengobrol. Gadis itu berambut panjang sebahu, matanya bulat dan bola matanya hitam pekat, tubuhnya sedikit pendek dan jari-jarinya lentik. Pernah sesekali aku menyapanya. Saat kali pertama kami berjalan di koridor sekolah. 

                “Uchikina shōjo!” Aku berteriak dan berusaha meraih bahunya. Dia jalan begitu cepat. Seperti orang yang tengah dikejar-kejar mafia. 

                Hap! 

                Akhirnya, tanganku yang melayang di udara mampu meraih bahu gadis itu. “Uchikina shōjo, kau kenapa berjalan secepat itu?” tanyaku seraya menatap wajahnya. Namun, pandangan yang kuterima berbeda. Aku tidak bisa menatap wajahnya dengan sempurna, karena ia menunduk. 

                Gadis itu menggerak-gerakan tubuhnya gelisah. Menggigit kuku jari-jarinya dengan gemetar. Seperti aku berniat ingin melakukan kejahatan padanya. Cepat-cepat aku berucap, karena takut dia akan menangis atau berteriak. 

                “Uchikina shōjo, aku tidak akan melukaimu. Kau tidak perlu memasang ekspresi seperti itu. Bisa kau bersikap tenang?” 





                Aku meraih pergelangan tangan gadis itu, membawanya ke suatu tempat. Gadis itu mengikuti langkah kakiku. Cepat. Sangat cepat, bahkan aku berlari sambil menggegam tangannya. Aneh, dia tidak melakukan ekspresi apa-apa. Tidak sama seperti apa yang aku pikirkan. 

                Di taman sekolah, banyak ditumbuhi pohon-pohon sakura. Langkahku terhenti, napas tersengal-sengal menyergap dada kami. Gadis itu juga sama sepertiku. Baru kali ini aku mendengar desahan napasnya. Detik berikutnya, napasku sudah sedikit normal. 

                “Maaf, sudah membuatmu lelah.” ujarku dengan nada bersalah. Gadis itu kembali menunduk. 

                “Kau, tidak perlu malu. Aku tidak akan mengejekmu.” kataku untuk kedua kalinya. 

                “Kenapa sih kau tidak mau berbicara? Memperkenalkan namamu saja tidak.” Aku menarik pergelangan tangan gadis itu, memintanya untuk mengikuti langkahku. Kami sampai di deretan bangku taman yang panjang. Aku duduk, tetapi gadis itu tidak melakukan apa pun. Hanya berdiri diam. 

                “Ayo, sini duduk!” Aku menepuk-nepuk bagian kosong dari bangku itu. “Kau jangan terus seperti itu. Apa kau tidak merasa sepi?”  tanyaku kepadanya. 

                Gadis itu membuka resleting tasnya. Mengeluarkan catatan kecil dari sana dan menuliskan sesuatu. Entah apa yang akan ditulisnya. Namun, reaksi gadis itu membuatku menarik ujung bibir. Detik berikutnya, gadis itu merobek sisi pinggir catatan itu, memeberikan kertas berisi tulisannya untukku. 

Kau, anak laki-laki yang baik. Aku menyukaimu teman. Maaf, jika aku tidak dapat mengungkapkannya lewat suara. Karena aku—bisu. Aku harap, setelah mengetahui ini. Kau tetap menjadi orang yang baik. Tidak seperti teman-temanku dan orang-orang yang mengejekku.  Arigato....

                 Watashi no namae wa Aika desu— Nama saya adalah Aika

 Yoroshiku - Aika Kazuya

Aku melayangkan pandangan ke arah gadis itu. Sedih rasanya. Dahulu, aku malah tidak ingin memiliki suara. Lantaran, aku kalah dalam kompetisi menyanyi di Osaka. Aku hampir meminta haha—ibu untuk membiarkanku sakit panas waktu itu. Ya, setelah kepulanganku dari Osaka ke rumah tinggalku di Okayama. Aku tidak makan dan minum selama tiga hari. Badanku panas, dan saat ibu ingin membawaku ke dokter. Aku menolak mentah-mentah. Ibu tetap membawaku ke dokter. Kata dokter Haruto, aku bisa mengalami kebisuan. Untung, Tuhan masih memberikan aku kesembuhan. Apalagi, melihat kondisi gadis bernama Uchikina shōjo. Oh, tidak! Namanya bukan itu, tapi— Aika Kazuya. Nama yang indah. Kala itu, lawanku menyanyikan lagu berjudul “Kami e no ai no uta”—Lagu Cinta Untuk Tuhan. 

Aku mengulurkan tangan pada Aika. “Hajimemashite—Perkenalkan, Watashi wa Kenji desu— Nama saya Kenji.” 

Dia menyambut uluran tanganku, dan tersenyum ramah. Aku tersenyum lebar melihatnya. Sejak saat itu kami menjadi teman. Kali ini, Aku benar-benar melihat wajahnya. Ia sangat cantik, rambutnya yang lurus tertiup angin. Menyapu pipi yang mulus Aika. Dia seperti malaikat yang bisu. Namun, membuat aku mensyukuri pemberian Tuhan. 

-Karena Tuhan, tahu yang terbaik untuk kita-


Author                 : Rafidah Aprilia

Image Source       : bing
               
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar