Selasa, 13 Januari 2015

Tangan Yang Terulur



“Kau tidak membutuhkan tangan saya yang terulur, kau juga tidak butuh pendapat siapa pun tentang apa yang menjadi keahlianmu. Kau berhak menluapkan amarahmu pada saya, tapi tidak kepada rasa hormat saya padamu. Kau berhak tidak memberi maaf pada saya, tetapi bukan berarti kau tidak memberikan kesempatan pada saya, untuk sekadar mengulurkan tangan.”

            Kalimat di atas setidaknya membuat saya belajar untuk tidak menjadi manusia yang benar-benar mati akan kata maaf dan menghargai kebaikan yang dilakukan orang lain. Hari itu, saya benar-benar menyesal karena telah mengulurkan tangan saya kepada orang yang tidak bisa menghargai perlakuan baik dari saya. Seandainya tangan saya yang terbiasa untuk bersalaman terhenti, mungkin saya tidak akan pernah menyesal. Jujur, hati saya terdalam merasa tertusuk saat dia menganggap saya sebagai seorang yang meminta-minta. Meminta bukan dalam hal materi, tetapi rasa hormat saya kepadanya yang lebih tua dari usia saya diacuhkan begitu saja. 

            Saya sadar, saya telah melakukan kesalahan karena keterlambatan saya memasuki kelas. Saya tahu hal itu salah, karenanya saya mengulurkan tangan. Tidak hanya pada saat saya melakukan kesalahan, saya pun akan melakukan hal yang sama. Terkadang, ketidaksukaan kita terhadap sesuatu seperti halnya keterlambatan, sering kita lakukan.  Jadi, jangan pernah berharap orang lain mengerti apa yang kita inginkan. Sedangkan diri sendiri pun masih sering melakukannya.

Dia mungkin sudah tidak menganggap saya lagi sebagai seorang manusia yang berhak mengikuti bimbingannya. Namun, dia masih berkeinginan untuk meruntuhkan harga diri saya di depan semua yang ada. Saya terdiam, bukan tanpa makna. Namun, hati dan bibir saya terus berucap. Saya mencoba melindungi hati saya agar tidak hancur dan terluka dengan cara membentengi hati saya dengan doa.  

            Saya, dan kepala-kepala lainnya tidak pernah diingat. Bahkan menatap saja tidak. Jika tidak diingat berarti tidak pernah ada. Terkadang ada sesuatu yang meluap dalam perasaan kita, dan tidak bisa kita bendung lagi. Ada sebagian dari mereka meluapkan perasaannya dengan tangisnya, karena dianggap tidak  pernah ada. Sedangkan saya, dan sebagian dari mereka hanya mampu berbesar hati. Melapangkan hati masing-masing akan lebih baik, dari pada meluapkan tangis yang tak sepenuhnya tangis itu atas kesalahan kita. 

            Ada beberapa kepala yang merasa tenang. Karena ia tidak pernah merasakan kegelisahan apa pun. Mereka hanya mampu melindungi diri sendiri. Tidak peduli dengan kegelisahan apa pun. Yang terpenting, mereka mampu meraih mimpi mereka. Saya tahu dan semua tahu itu, jika setiap manusia berhak memiliki mimpi dan cita-cita nya dan mencapainya dengan caranya sendiri. Namun, sebuah mimpi dan cita-cita tidak selayaknya egois terhadap mimpi yang lain. Biarkanlah mimpi dan cita-cita itu berkembang serta biarkan rasa cinta muncul di antara keduanya. Sekarang, yang saya butuhkan dan yang lain harapkan hanya menerima.

Rawamangun, 15 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar