“Kau tidak membutuhkan
tangan saya yang terulur, kau juga tidak butuh pendapat siapa pun tentang apa
yang menjadi keahlianmu. Kau berhak menluapkan amarahmu pada saya, tapi tidak
kepada rasa hormat saya padamu. Kau berhak tidak memberi maaf pada saya, tetapi
bukan berarti kau tidak memberikan kesempatan pada saya, untuk sekadar
mengulurkan tangan.”
Kalimat di atas setidaknya membuat
saya belajar untuk tidak menjadi manusia yang benar-benar mati akan kata maaf
dan menghargai kebaikan yang dilakukan orang lain. Hari itu, saya benar-benar
menyesal karena telah mengulurkan tangan saya kepada orang yang tidak bisa
menghargai perlakuan baik dari saya. Seandainya tangan saya yang terbiasa untuk
bersalaman terhenti, mungkin saya tidak akan pernah menyesal. Jujur, hati saya terdalam
merasa tertusuk saat dia menganggap saya sebagai seorang yang meminta-minta.
Meminta bukan dalam hal materi, tetapi rasa hormat saya kepadanya yang lebih
tua dari usia saya diacuhkan begitu saja.
Saya sadar, saya telah melakukan
kesalahan karena keterlambatan saya memasuki kelas. Saya tahu hal itu salah,
karenanya saya mengulurkan tangan. Tidak hanya pada saat saya melakukan
kesalahan, saya pun akan melakukan hal yang sama. Terkadang, ketidaksukaan kita
terhadap sesuatu seperti halnya keterlambatan, sering kita lakukan. Jadi, jangan pernah berharap orang lain
mengerti apa yang kita inginkan. Sedangkan diri sendiri pun masih sering
melakukannya.
Dia mungkin sudah tidak menganggap saya lagi sebagai
seorang manusia yang berhak mengikuti bimbingannya. Namun, dia masih
berkeinginan untuk meruntuhkan harga diri saya di depan semua yang ada. Saya
terdiam, bukan tanpa makna. Namun, hati dan bibir saya terus berucap. Saya
mencoba melindungi hati saya agar tidak hancur dan terluka dengan cara
membentengi hati saya dengan doa.
Saya, dan kepala-kepala lainnya
tidak pernah diingat. Bahkan menatap saja tidak. Jika tidak diingat berarti
tidak pernah ada. Terkadang ada sesuatu yang meluap dalam perasaan kita, dan
tidak bisa kita bendung lagi. Ada sebagian dari mereka meluapkan perasaannya
dengan tangisnya, karena dianggap tidak
pernah ada. Sedangkan saya, dan sebagian dari mereka hanya mampu
berbesar hati. Melapangkan hati masing-masing akan lebih baik, dari pada
meluapkan tangis yang tak sepenuhnya tangis itu atas kesalahan kita.
Ada beberapa kepala yang merasa
tenang. Karena ia tidak pernah merasakan kegelisahan apa pun. Mereka hanya
mampu melindungi diri sendiri. Tidak peduli dengan kegelisahan apa pun. Yang
terpenting, mereka mampu meraih mimpi mereka. Saya tahu dan semua tahu itu,
jika setiap manusia berhak memiliki mimpi dan cita-cita nya dan mencapainya
dengan caranya sendiri. Namun, sebuah mimpi dan cita-cita tidak selayaknya
egois terhadap mimpi yang lain. Biarkanlah mimpi dan cita-cita itu berkembang
serta biarkan rasa cinta muncul di antara keduanya. Sekarang, yang saya
butuhkan dan yang lain harapkan hanya menerima.
Rawamangun, 15 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar