Senin, 12 Januari 2015

Pengaduanku



        Aku tidak tahu bagaimana harus mengawali kisah ini. Apakah aku harus memberitahu akhirnya? Ataukah aku harus menyampaikan epilog dari kisah ini? Jujur, aku sangat iri dengan mereka. Ya, mereka yang memiliki cukup kasih sayang terhadap saudaranya. Mereka yang saling berbincang, mencurahkan cinta disetiap pertemuan. Saling tersenyum saat kali pertama memandang. Ketika pagi mulai menyapa orang-orang yang beraktivitas. Saat sajak-sajak rindu kepada pulau dimana tempatmu kembali pulang. Menjemput rasa rindu yang telah lama berkarat kepada kesayanganmu. Menyampaikan cerita-cerita yang entah indah ataukah luka kepada kesayanganmu. 

Kuharap, kau tak pernah lupa jika mimpi-mimpi itu tak akan pernah berhenti untuk mengerti keinginanmu. Kuharap, kau juga tak pernah lupa jika semua yang tak terhenti itu tak terlepas dari doa orang-orang yang mencintaimu. Orang-orang yang tidak pernah berada disisimu, namun sinar kasih dan cintanya mampu membuatmu menjadi seperti apa mimpimu. Aku ingat, saat membaca buku Paulo Coelho, Jika kita sungguh-sungguh menginginkan sesuatu maka semesta akan berkonspirasi mewujudkannya. Hidup terlalu singkat jika hanya dilewati dengan penyesalan. Karena hidup terlalu indah jika disia-siakan. 

Hari ini, tepatnya aku menngungkapkan pengaduanku. Mungkin lebih tepatnya, isi hatiku kepada kesayanganku (ibu). Ketika itu, aku sakit. Bahkan tubuhku tidak mampu lagi bekerja sama dengan baik terhadap pikiranku. Saat-saat seperti ini, ingin rasanya aku memeluk bahkan mencium dirinya. Aku merasa jika pengaduanku begitu melemahkanku. Melemahkan, bukan berarti aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Tetapi, aku tidak ingin membuatnya merasa khawatir atas rasa sakitku. Saat aku meneleponnya, ku dengar nada suaranya yang begitu takut, khawatir jika darah dagingnya ini terluka. Aku merasakan itu dari dasar hatiku. Ku kulum tangis yang nyaris pecah, hingga tak mampu ku tahan lagi butiran-butiran air mata ini untuk jatuh menyebar membasahi pipiku. 

Sekali, lagi kutahan bibirku untuk berkata kalau aku sangat sakit. Ku putuskan untuk berkata “Semua baik-baik saja bu,” 

Namun, perasaan seorang ibu berbeda. Itulah kenapa ia tercipta sebagai makhluk yang sangat pandai membaca hati anaknya. Ku akhiri sekali lagi percakapan itu dengan mengatakan “Aku baik-baik saja bu.”  Hingga ia berkata “Baik nak, semoga cepat sembuh. Minum susu dan makan yang teratur. Jangan lupa istirahat, ibu selalu mendoakanmu.” sahutnya dengan nada khawatir.

“Baik bu…. Terimakasih.” ucapku, tanpa sadar air mata meluncur kembali di kedua pipiku.   Ku tutup sambungan ponselku dengannya. Sepertinya, aku tak perlu mengadu lagi kepadanya tentang rasa sakit ini dan seharusnya aku percaya ketika ibu mendoakanku, maka doa-doanya pun akan selalu menjaga dan melindungiku. Bukankah aku terlahir karena doa-doa darinya? 

Pagi pun menjelma cepat menjadi malam. Entah sudah kali keberapa ibu meneleponku. Pertama,  saat sore hari ia meneleponku menanyakan keadaanku apakah sudah membaik atau belum? Kujawab dengan iya yang sedikit dusta. Kedua, saat malam hari. Saat telepon malam hari itulah ia berkata ingin menemuiku di rumah kostku. Aku pun terkejut mendengarnya. Kularang ia untuk berkunjung, hal itu bukan semata-mata aku tak menyukai kehadirannya. Melainkan aku tak ingin mengganggu ketenangannya, membuatnya terlalu banyak berpikir tentang diriku. Namun sayang, ia mengatakan tetap akan datang menemuiku untuk memberikan obat yang baru ia beli di klinik. 

Malam harinya, sekitar pukul 21.00 malam, ibu mengetuk pintu kamar kostku. Ia datang bersama ayahku. Kulihat ia membawakan bungkusan obat dan bingkisan roti yang katanya baru saja dibelinya ditoko roti berinisial kincir angin itu. Aku langsung memeluk dirinya, kucium pipinya yang wangi parfumnya sudah sangat biasa kucium. Dalam hati aku berkata, “Ibu, aku juga senantiasa mendoakanmu.” Semoga doa-doaku untuk ibu terjabah, disetiap sujudku. Agar ia selalu terjaga dibawah lindungan-Nya dan menjaga agar air matanya tidak jatuh karena begitu mengkhawatirkanku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar