Bagiku,
sejarah adalah kesedihan yang aku alami. Saat aku duduk terisak di depan layar
selebar 33 cm. Kepalaku memuat kesedihan
yang berakar karena mereka. Aku mungkin tak pernah tahu arti memahami, aku juga
tidak pernah tahu arti membahagiakan dan aku tidak pernah tahu arti kepedulian.
Duduk sendiri dan berkisah terhadap kata sambil menumpahkan tangis, rasanya
seperti bercerita dengan Tuhan. Melaporkan segala hal yang menyakitkan. Berharap
dengan begini, aku bisa tenang setelahnya.
Mereka
selalu berusaha membuatku bahagia, yang pada akhirnya tak membuatku merasa
nyaman dan bahagia. Sakit? Itulah yang aku rasakan bulan-bulan ini. Entah
kenapa, jika aku lihat semakin rinci. Tubuhku semakin tak karuan. Rasa sesak di
hati membuat hilang akalku untuk selalu membahagiakan diri sendiri. Dan, dengan
cara sendiri. Aku selalu menyukai malam, karena dari sana aku bisa
menghilangkan rasa sesak seharian. Aku harus tenggelam ke alam kematian, yang
esok pagi akan menyadarkanku.
Pagi,
aku suka pagi. Dimana aku bisa bercerita tentang hari-hari yang kulalui
kemarin. Bercerita tentang hal yang mungkin tak pasti. Bermunculan sebuah
impian dan kisah baru. Namun, kini kisahku selalu sama. Tidak ada yang special.
Hanya segelas cokelat panas dan cokelat warna-warni berbentuk love yang menemaniku. Aku juga tak akan
lupa untuk berterimakasih kepada kata, tempat di mana aku dapat bercerita.
Menumpahkan segala isi hatiku dan harapanku saat ini.
Rasa
kecewa memang menyakitkan. Saat kau sudah benar-benar berharap sesuatu hal yang
kau bayangkan akan terjadi. Saat kau sudah benar-benar yakin jika hari ini dia
menjemput-mu pulang. Namun kenyataan berkata tidak. Sangat menyakitkan bukan? Kecewa
sama dengan menunggu, aku tidak suka hal yang tak pasti. Menunggu membuatku
harus berpikir keras. Melayangkan berulang-ulang pandangan dengan keadaan
sekeliling. Melirik jam yang entah aku lihat dari ponsel atau jam yang melingkar
di tangan. Kedua hal itu menyesakkan. Membuat bahu dan tubuh bergetar tak
karuan. Membuat suara yang normal menjadi serak
dan parau.
Terkadang,
kepedulian terhadap diri sendiri justru membuatmu sakit. Saat tak ada lagi
orang yang mau peduli. Hanya kau yang rela mengorbankan segalanya. Saat
orang-orang picik di luar sana
mengatakan “Sudahlah, kita tenang dan
bersenang-senang saja disini. Di sana ada mereka yang selalu peduli dengan hal
ini.”
Cih, Aku muak dengan obrolan mereka. Aku
muak dengan kesenangan-kesenangan yang mereka tampilkan. Aku muak dengan
wajah-wajah merasa perihatin mereka. Semua itu hanya tipuan, palsu, dan bohong.
Pada akhirnya, mereka hanya mampu melakukan satu hal. Bertanya. Bertanya banyak
hal yang tak semestinya mereka tanyakan. Mengucapkan terimakasih, terkadang itu
bukan hal yang baik. Jika mereka terus-terus berterimakasih.
Ingat!
Ini semua adalah masalah kita. Bukan aku, dia, dan dia. Kau selalu ingin
mewujudkan harapanmu, tetapi tak pernah melakukan tindakan pengorbanan. Kau
selalu ingin cepat pergi dari sana, dan menempuh hal-hal baru. Tetapi, kau tak
pernah memahami hakikat perjuangan. Bukankah ada pepatah usang mengatakan. Berakit-rakit
ke hulu berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian. Bukankah untuk tampil sukses sesuai harapan harus ada
pengorbanan? Hei, ingat. Dunia ini tidak mampu kau genggam tanpa ada tindakan.
Kau
mungkin selalu beruntung dalam segala hal. Tapi, tidak selamanya kau akan
memiliki itu. Kisah ini, mungkin akan menjadi cerita dua puluh tahun yang akan
datang. Cerita yang saat aku kembali membacanya, membuatku mengerti arti
kepedulian dan pengorbanan. Cerita yang akan membuatku tersenyum atas
keputusanku. Yang terkadang membuat hati terluka atau mungkin, membuatku cukup
tenang. Sekali lagi, aku ucapkan terimakasih yang sangat dalam terhadap kata. Hingga
aku mampu menyelesaikannya sampai akhir. Meskipun aku tahu, mereka akan
mengatakan jika aku melakukan hal bodoh. Namun, aku akan tunjukkan pada mereka
siapa yang seharusnya berkata bodoh. Sekali lagi, terimakasih untuk kata. Yang
mampu menghapus sedikit kesedihan. God thank you for every word that you give for me.
Regards
Rafidah Aprilia
Image source : stylonica
Tidak ada komentar:
Posting Komentar